Selasa, 15 Juni 2010

Dikhianati Hati Sendiri


Ku duduk diam, sendiri, di taman samping kamarku. Berusaha menyembunyikan mataku dari tatapan bulan pucat yang sejak tadi melirik curiga padaku. Bahkan ikan-ikan di kolam pun mulai berkumpul menjadi gerombolan ikan-ikan penggosip, dan gilanya mereka melakukannya di depan mataku. Dasar tak punya sopan santun!

Apa tak bisa kalian membiarkanku menikmati kalian yang lebih ramah? Memang apa yang salah dengan berdiam menyendiri seperti ini? Toh juga aku tak mengganggu kalian. Yang kulakukan kan hanya duduk saja dan kadang tersenyum, kadang termangu juga, dan ya paling sesekali memejamkan mata dan menarik nafas panjang serta mengeluarkannya pelan-pelan saja. Aku bahkan tidak membuat kegaduhan, bukan?

Ah, seandainya saja kalian tahu galau ku. Ini memang bukan tentang hidup dan mati. Bukan juga urusan politik Negara yang tak pernah ada titik terang. Apalagi urusan gusur menggusur tanah rakyat yang sedang marak di setiap berita tv dan halaman surat kabar pagi.

Ini tentang hatiku yang hilang. Hatiku dicuri orang! Yang terakhir kuingat hanya aku menyimpannya sangat rapi di tempat berkunci tanpa duplikat. Namun tempo hari kunci itu terlepas saat ku berjabat tangan begitu erat dan menatap matanya begitu dekat. Ya Tuhan, bagaimana aku bisa menjelaskan semua ini pada kalian!

Ini sungguh mengganggu. Kuingatkan, jangan sampai terjadi pada kalian. Bahkan ini lebih menyiksa dari virus flu yang membuat kalian tak bisa memejamkan mata bermalam-malam.
Dimana dia, hatiku yang telah rela dibawa dan mengkhianatiku begitu tega. Kumohon padamu, siapa saja yang menemukannya. Bujuklah ia, supaya mau kembali dan menemaniku menikmati hening ini.

Supaya bisa kutitipkan senyum termanisku untuknya setiap pagi
Dan kau tak pernah ingin melewatkan sekedip pun menatapku di tiap helai waktumu
Tapi kumohon, kembalikan hatiku..

Menanti Hujan Reda


Hujan sore ini begitu derasnya. Ada classic rock mengalun pelan dari sebuah piringan hitam. Dan tempat ini terasa begitu nyamannya saat hujan. Lampu-lampu kecil yang tak satu pun yang begitu terang. Dan kakakku menghitung ada 27 jam disini dan percaya atau tidak tak satu pun dari mereka tepat.

Baru semalam kami mengunjungi tempat ini untuk pertama kalinya. Dan entah chemistry atau apa namun kami segera saja jatuh cinta padanya. Memesan teh poci, dan tak sabar aku menuangnya ke dalam cangkirku. Dan benar saja, aku begitu menyukai gemericik teh yang mengalir dari poci ke cangkirku, yang serta merta membuatnya sedikit bergetar di atas piring kecilnya. Gosh.. kubegitu menyukai moment ini!

Bunyi ini mengingatkanku pada tahun-tahun lalu. Dimana aku dan ibu masi mempunyai banyak sekali waktu untuk saling memeluk tanpa sungkan karena umurku yang sudah tak pantas lagi meminta peluk yang begitu mesra padanya. Kumerindukannya. Hanya diam dan memandang dalam matanya. Menikmati hangat peluk dan lembut hembusan nafasnya. Memiliki cintanya utuh tanpa batas dan cela.

Namun tempat ini menimbulkan kerinduan yang aneh. Ku tak ingin membagi rindu ini. Ku ingin memilikinya untukku sendiri. Seorang temanku berkata bahwa ketika dia rindu pada seseorang atau sesuatu, dia tidak akan menyampaikannya pada siapapun. Dia akan menyampaikannya pada Tuhan nya. Kurasa memang rindu tidak selalu untuk disampaikan atau dibagi pada siapa pun. Bagiku rinduku hanya milikku. Menikmati setiap desir yang hadir di hatiku. Menikmati setiap senyum yang tersungging di wajahku. Dan menikmati menahan setengah mati untuk segera memencet nomor dan menelponnya.

Menanti hujan ini reda begitu hening rasanya. Menanti saat-saat kau mengirimiku pesan. Menanti ketika kuharus berhenti sejenak dan menarik nafas untuk mengatakan sesuatu yang ku tak suka. Seperti kau menanti saat air matamu hampir jatuh dan kau tak menginginkannya terjadi.

Ku menanti hujan ini reda namun juga tak pernah ingin mengakhirinya..
Jangan sayang, aku menyukainya..
Biarlah dia hadir untuk beberapa saat lagi saja..
Kau tahu ku begitu menyukainya..

Tak Ada Gantinya


Bagaimana kubisa berpaling darimu
Sekian lama kumencari separuh jiwaku
Kumau menunggu
Tak pernah berhenti
Sampai suatu saat nanti kau kan menyadari
Kuingin kau tahu tak kan ada habisnya
Kumasih miliki cinta melebihi yang kau kira
Hanyalah senyummu yang menghapus rinduku
Telah lama tak ku jumpa menghilang dariku
Akan kulakukan asal kau kembali
Ku tak sanggup sendiri lebih lama lagi ..


Lyrics Tak Ada Gantinya - Ipang

Lagu ini referensi dari Seno Merah, saudaraku yang paling .. paling lah pokoknya.
Pertamakali mendengarnya terasa biasa di telinga ini, namun setelah kutelaah dengan baik kata-kata nya yang di bawakan dengan sangat "gila" (kalau boleh kumenyebutnya begitu) oleh seorang bernama Ipang, entah kenapa lagu ini bisa membawaku ke rasa yang sudah lama ku tak merasakannya.

Mencoba mengatakan sesuatu melalui sebuah lagu. Menyampaikan rasa yang tidak biasa dengan cara yang semua orang bisa rasa. Menyenangkan rasanya bisa kembali mencicipi rasa ini. Teremangu-mangu dan hampir tak bisa menggambarkannya. Menciptakan kembali rindu akan sesuatu, sebuah tempat, sebuah rasa, bau atau mungkin seseorang yang pernah kita rindu.

Dan aku salah satu penikmat dari semua itu. Mendengarkannya dari headphone sambil menulis. Dengan matahari yang menerpa wajahku di sela-sela bambu di sore yang hangat dan cerah. Sambil meminum teh dari cangkir kecil berwarna putih di sebelah kiriku. Dan asbak yang hampir penuh dan abu rokok yang berserakan di sekitarnya.

Eternity. Begitu aku menyebutnya. Seperti rasa yang kusuka saat memutar nomor telpon dari telpon rumah model lama. Saat kita harus memutar setiap angka dan menunggunya berputar kembali ke posisi awal untuk dapat melanjutkan dengan angka berikutnya. Dan kemudian menunggu seseorang di ujung sana mengangkatnya dan mengatakan "Halo .. ?"

Entah kenapa kubegitu menyukainya. Seperti ku sangat menyukai bau dari kopi, walau ku tak begitu suka kopi. Namun menikmati kesendirian dalam senyap dengan banyak hal yang kusuka, seperti membaca kembali masa lalu dari sebuah surat yang ditulis oleh entah siapa. Menikmati membaca buku yang kusuka di kamarku dan tersenyum-senyum atau tiba-tiba menangis sendiri karenanya. Pergi menonton film di bioskop sendiri tanpa ada gangguan teman yang mengajak mengomentari film tersebut di tengah-tengah film itu diputar, dan mengalami rasa yang sama saat aku membaca buku. Ku bahkan tersenyum-senyum menuliskannya.

Aku menyukai hal-hal kecil "unpredictable" yang kurasa.
Aku menyukai kenyamanan yang kubuat dan kunikmati (kadang) sendiri.
Aku menyukai waktuku yang yang merindumu.
Aku menyukai saatku yang menginginkanmu.
Aku bahkan menyukai detik-detik sendiriku.

Tapi ku tak suka kau yang jauh dan tak tersentuh ..
Sungguh ..

Untittle


Jangan pernah tanyakan, apakah aku mencintaimu
Sampai rambutku memutih pun kau tahu rasaku..
Pernah kukatakan padamu, aku begitu sayang padamu
Dan kau tahu ku tak pernah bermain dengan rasaku

Ku ingin melihat senyummu di pagi hariku
Ku selalu ingin menatap sayupmu di malamku
Ku suka menikmati teh buatanmu di soreku
Dan selalu rindu duduk berdua denganmu di berandaku

Jangan pernah ragukanku, sayang..
Menunggumu seumur hidup pun akan kujalani
Walau kau ragu akan waktumu
Sampai langit runtuh tetap ku tunggu

Ku tak suka melihatmu tersedu begitu
Ku rasakannya dalam setiap desir darahku
Ku dapat rasakannya dari kedipan matamu yang begitu pelan
Bahkan ku dapat rasakan dari teh gelap pucat yang kau buat

Ingin kunanti pagi dalam dekapmu
Membaca buku dan menemanimu dalam sibukmu
Memutar nomormu dan menunggumu mengangkat telepon di ujung sana
Dan sangat ingin bisa diam dan menatapmu saja

Untukmu kuserahkan hatiku
Jaga dengan senyum termanismu
Menyimpannya di tempat ternyaman dalam dirimu
Agar sering kau menengoknya dan merasa bahagia..




* dedicated to my best friend's wedding Otto Muharrom and Cherish Muharrom
Happy wedding guys, am happy for you, both of you!

Jumat, 11 Juni 2010

rindu


Matahari terselimut mendung
Dengan secangkir teh hitam di meja kulihat dirimu begitu merana
Sedang apa kamu di sana?
Merajut harap, mengurai arti
Menata hati dengan sangat hati-hati
Kan kuhapus ungunya waktu
Kan kuubah menjadi jingga yang menyala
Kau tahu ku tak pernah mau menyerahkan harap pada sesuatu yang membuatmu termangu dalam senyap
Aku tahu rindu itu
Dan kau tahu siksa ini
Selalu kuingatkan padamu sejak awal, bukan?
Tapi kau tak pernah dengarkan
Lalu bagaimana kuharus menyelesaikannya?
Mendung telah memudar
Dan teh hitammu tak lagi begitu tawar
Kau tahu di mana kusimpan hatiku
Dan kan kutunggu kau menjemputnya sore nanti
Tuk melihatmu tersenyum lagi
Dan kembali merasai manis kisah ini
Ku tunggu kau sore nanti ..

Kamis, 10 Juni 2010

Bulan Berwarna Biru

Dan di sini lah aku..
Duduk termangu dalam haru
Beralaskan perih dan bersandarkan pilu
Hanya terdiam menghitung air mataku yang jatuh satu per satu
Menggenggam erat setiap kata-katamu
Menjaganya supaya tak lepas dan kemudian merangkainya dalam bingkaiku
Menyisir setiap helai nafas yang kuhembus dengan berat hati
Mengayunkan langkah yang kutiti sendiri
Dan memohon setengah mati supaya air mata ini tak terjatuh lagi..

Kemudian di sini lah kita
Hanya berdiri saling tatap tanpa kata
Mencoba merangkai kata dengan bahasa kita
Menikmati renung yang luar biasa
Mengecap pahit dengan sangat biasa
Membisikkan sedih yang kau tak pernah kira
Hingga menitik peluh dari sudut mata yang begitu alpa

Dan kita pun menangis sejadinya
Melirihkan rintik hujan yang jatuh
Mencairkan dingin yang angkuh
Dan meluluhkan bumi yang kian rapuh

Aku sedih melihatmu begini
Melalui malam-malam dengan hati yang iri
Menambatkan harap pada langit kelabu dan bulan berwarna biru
Sambil tersenyum sendu berjubah rindu

Bukan inginku ..

Bukan inginku ..