Senin, 28 Maret 2011

undisclosed desires

Sore hampir usai, maghrib bersiap memasuki jam kerjanya. Dan langit pun menggelap, mengganti matahari yang memerah dengan bulan pucat yang hanya tampak setengah. Dan kau pun mulai gelisah, gemas dengan detik yang tak mau mengalah, supaya waktu tak lekas menua dan kau bisa menemuinya lebih lama. Supaya rindu tak menganiayamu terlalu lama hingga waktu kalian kembali berjumpa.

Dan saat itulah, saat sayup-sayup terdengar adzan di ujung entah sebelah mana. Saat kopimu mulai menjadi dingin. Saat tanganmu menjadi basah karena terlalu erat kau satukan keduanya untuk waktu yang cukup lama. Saat kau melihatnya datang dengan t-shirt putih berbalut cardigan warna cokelat hangat dan celana pendek serta sandal gunung kesukaannya. Semua tampak sempurna dengan senyum yang dia sematkan manis di wajahnya. Dan kau pun tersenyum bukan di sana?

Kalian bercium pipi dan saling memeluk beberapa saat lamanya. Memesan kopi yang lebih hitam untuknya dan menyalakan rokok masing-masing, bersiap memenuhi asbak yang sudah terisi beberapa batang sebelum kedatangannya. Kau letakkan tangan di atas meja dengan rokok terselip di jari-jari sebelah kiri. Mulai menatapnya dan bertanya kabar yang sudah kau ketahui jawabannya. Aneh, tapi memang kau tak tahu harus bagaimana memulainya. Berbasa-basi apalagi, tak pernah pandai kau melakukannya. Tapi tak usahlah bersedih, kuyakin pembacaku tersenyum membacanya, mereka tahu seperti apa rasanya!

Dan kalian mulai bicara. Tentang hari-hari penat yang kau lalui. Tentang anak-anak di lereng merapi yang dia temui. Tentang film-film luar biasa yang kalian suka. Tentang dunia yang tak bersahabat saat kau menanggung rindu yang luar biasa. Oh, tidak tidak, yang terakhir ini hanya kau ungkapkan lewat tatap mata, bukan kata-kata. Dan begitu seterusnya, terukir jelas di rautmu betapa kau begitu bahagia. Tak perlu kau ungkapkan, tiap kerut tawamu begitu pandai menjelaskan. Bahkan malam yang mendung setengah mati melawan takdir agar ini tak segera berakhir.

Namun begitulah dunia, sayang. Seperti tak pernah suka melihat seseorang bahagia terlalu lama. Itu kan yang kau rasa? Andai saya punya keberanian untuk menuliskan yang lebih hebat tentang kau dan dia. Andai waktu dan pikiran saya tak berbatas untuk menuliskan ribuan abjad tentang waktu indah yang selalu ingin kau rasa saat bersamanya. Akan kubuatkan kau secangkir kopi dan kuceritakan dengan bahasa rasa. Dunia memang tak pernah adil bagi para pecinta. Tapi biarlah kopi dan puluhan batang rokok ini menceritakan padamu betapa kita punya banyak sekali cara untuk menjadi bahagia.

Saat kusentuh tanganmu, kau tahu apa yang memberanikanku..
Saat kumenatapmu, kau tahu apa yang ingin kukatakan..
Saat kumemelukmu, kau pasti rasakan degupku..
Bahkan saat kuterpejam sesaat, kau tahu apa yang kurasakan..
Hanya saja mungkin ku tak akan pernah ungkapkan, dan jangan tanya akan sampai kapan..

merapuh

Mengingatmu seperti gumpalan awan yang tercairkan, deras tak beraturan. Hujan rindu yang tak mampu ditepis oleh payungku. Berteduhpun ku tetap basah kuyup. Lalu bagaimana kuharus mengeringkan badan dari hujan yang tak pernah berhenti?

Membicarakanmu seperti anak kecil yang memakan habis gulali pertamanya. Manis. Namun kemudian menyesal karena pahit lidah ini saat berhenti. Kau tak pernah tahu hal tak manis yang kualami ini. Coba beri tahu ku apa penawarnya? Tak ada.

Menemuimu adalah surga. Dunia kecil rahasia yang kumiliki seorangan saja. Seperti bahagia yang pertama kali kau rasa. Tak mungkin ku lupa desir darahku yang hampir kehilangan arah alir karena jantungku yang bekerja tak sesuai takdir.

Merindukanmu adalah segalanya. Kesepian maha dahsyat yang kurasa. Saat dimana kumenepis peluh yang hampir tanpa jeda. Dan ku menyerah pasrah pada serangan siksa yang luar biasa. Karena keterbatasan yang memang tak bisa kumelawannya.

Mengenangmu selalu membuatku tersenyum dalam perih yang terkulum. Saat kuciumi aroma rokok kesukaanmu. Saat ku selalu kembali ke tempat-tempat yang kita singgahi. Saat aku tiba-tiba menangis tanpa alasan dalam derai gerimis.

Ku hanya tak tahu cara mengatakannya,,
Ku tak tahu cara menghindarinya,,
Dan ku tak pernah tahu cara menghentikannya,, rindu yang tak ada penawarnya..