Sabtu, 08 Juli 2017

Pergi Pergilah, Berbahagialah

kau tahu,
apa yang lebih baik dari sekedar cantik?
hati yang baik dan pikiran terpelajar yang sulit ditampik keberadaannya,
katamu

kau tahu,
apa yang lebih manis dari memiliki kenangan manis?
gambar-gambar indah yang terbingkai rapi di hampir setiap sudut ruang memori,
kataku

kau tahu,
apa yang lebih indah dari persahabatan?
berbagi sedih dan bahagia tanpa mengenal kata tak bisa,
lanjutmu

kau tahu,
apa yang lebih menyedihkan dari sebuah kehilangan?
melepas sahabat terkasih tanpa kata sampai jumpa sambil menggenggam tangannya,
aku mengakhirinya

aku tahu,
kau di sana
tersenyum bahagia seiring lepasnya sakit yang mendera

pergi pergilah,
berbahagialah di nirwana penuh warna
yang tak kau temukan di kamera terbaik pun di dunia

milikmu yang ada di sana
tujuan akhir yang tak mengenal jam tutup dan buka



* ditulis untuk sahabat terkasih #KristupaSaragih #inlovingmemory



jogja, July 8th 2017


love, vie         

Selasa, 09 Mei 2017

Selepas Maghrib di Ruang Tamu Ibu

Suatu hari, pernah kami berbincang. Selepas maghrib di ruang tamu rumah ibuku. Dia sedang berkunjung ke Jogja waktu itu. Obrolan ringan awalnya. Bertanya kabar keluarga dan kawan-kawan lama. Hingga sampailah pada pembicaraan dengan pertanyaan dan pernyataan berat darinya. Di titik ini, bagai menonton film Milan Kundera di bioskop, jangan sekali kali lengah atau pergi ke kamar mandi hanya untuk buang air kecil sekalipun. Kau akan kehilangan arah cerita jika tak menyimak dengan seksama.

“Kau tahu, Vik? Aku selalu memelihara masa lalu. Segala hal yang kulalui dan kulakukan, kuingat dan kupelihara dengan baik. Bahkan perempuan-perempuan yang pernah menjadi kekasih atau sekedar “teman dekat” saja, semuanya kujaga dengan baik di ingatan dan kehidupanku ke depan. Aku menyimpan mereka semua. Mereka yang pernah begitu berharga. Mereka yang pernah bersamaku membagi senyum dan banyak hal lainnya.”

Aku menyimak saja. Waktu ini miliknya. Kuserahkan segenap perhatian dan dua telingaku padanya.

“Banyak hal berubah dari waktu ke waktu. Banyak kawan datang dan pergi seiring sibuk yang mau tak mau harus dijalani. Semakin kemari semakin terasa, mana yang memang berarti dan tak pernah pergi; dan mana yang ternyata memang sangat dangkal keberadaannya. Di titikku ini, kaulah satu-satunya hal yang tak pernah pergi. Selain ibu dan adikku tentu. Kita tak pernah bercekcok untuk sesuatu yang berarti. Dan entah kenapa aku memang sangat jarang bisa menang jika berargumen denganmu.” Dia berhenti bicara dan menghisap dalam-dalam rokok kreteknya. Memandangku sebentar yang tahu dia belum selesai bicara. Menjentik-jentikkan rokoknya di atas asbak, seperti memberiku waktu untuk bersiap menerima kata-kata selanjutnya.

Dan tiba-tiba dia bertanya, “Apa yang membuatmu memutuskan untuk menikah?”

Deg! Jantungku berhenti sepersekian detik mendengar pertanyaannya. Tiba-tiba saja banyak pertanyaan berkecamuk di kepalaku. Apakah aku mencintainya? Sungguh-sungguh mencintainya? Apakah aku siap dengan segala tetek bengek pernikahan yang sudah pasti tak selamanya mudah dan indah? Apakah aku siap berkomitmen hanya dengan satu orang saja yang selanjutnya akan kusebut suami selama sisa hidupku? Apa aku siap merelakan banyak waktuku untuk sebuah hal yang disebut berumah tangga?

Aku terhenyak ke sandaran kursiku. Pikiranku tak lagi ada di ruang tamu ibu. Dan dia kembali bertanya, “Apa yang kau cari dari sebuah pernikahan, Vik?”, tanpa merubah posisi duduknya. Pertanyaannya memang terdengar sinis, tapi memang begitulah dia. Selalu mengejutkanku dengan pertanyaan-pertanyaan sulit yang hampir tak pernah terlintas di kepalaku. Di umurku yang dua puluh empat tahun waktu itu. Pertanyaan pertamanya sudah cukup menyulitkan pikiranku. Dan ditambahinya dengan pertanyaan kedua yang aku tak pernah siap dengan jawabannya. Tapi aku sangat mengenalnya. Sebuah pertanyaan harus diselesaikan dengan jawaban baginya. Seperti itulah dia menempaku selama ini. Dan sungguh, dia selalu bisa membaca segala ragu dari raut dan jawabanku. Dia tahu aku tak siap dan hanya diam menanti gerakan di bibirku.

“Shit!”, umpatku akhirnya. “Kenapa pertanyaan semacam ini tak pernah terlintas di pikiranku?!” Aku memberinya kepastian akan ketidaksiapanku. “Tapi ini kau yang bertanya; dan aku pantang tak bisa menjawab pertanyaanmu!”, kataku kesal. Aku diam sejenak menyiapkan jawaban.

“Ok, pertama, karena aku adalah anak pertama dan aku seorang perempuan. Kurasa, di titikku saat ini, aku sudah cukup mampu untuk mengambil komitmen ini.” Dia masih diam, menyimak sambil terus menjentikkan jarinya. Tak memandangku, memandangi rokoknya.

“Kedua. Kami telah menyepakati hal-hal yang memang perlu untuk kami sepakati lebih dulu. Sebelum melangkah maju. Dia paham akan posisiku di rumah orang tuaku dan dia pun tak berkeberatan aku tetap bekerja nantinya. Pekerjaan yang memang aku suka. Dia tahu hal-hal apa yang membuatku bahagia. Dan dia mau aku tetap melakukannya.” Dia masih tak bersuara, dan menghembuskan asap rokoknya ke samping, tampak sedikit kesal.

“Ketiga. Aku ingin segera mempunyai anak dan sudah tak berencana hamil lagi saat usiaku menginjak kepala tiga. Itu saja”, kataku mengakhiri jawaban.

Dia menghisap rokoknya dalam. Masih belum mau memandangku. Aku tahu jawabanku tak memuaskannya. Dan aku benci akan hal itu.

“Vik, jika tujuanmu hanya ingin punya anak, kau bisa mendapatkannya dari mana saja. Kapan saja. Tak perlu menikah.” Sekarang dia mulai melihatku. “Tapi jika tujuanmu itu untuk punya masalah. Maka menikahlah.” Katanya datar namun penuh kemenangan.
Aku kehabisan kata-kata. Tak tahu lagi harus membawa obrolan ini ke arah mana. Aku kalah seada-adanya. Walau ini jelas bukan soal menang atau kalah. Tapi aku tak suka berada di posisi yang membuatku tampak lemah di hadapannya. Bodoh sekali rasanya. Dan seorang perempuan diharamkan untuk bodoh sejak dari tampaknya. Ibu Kartini dan Simone de Beauvoir pasti tak tenang di alam kuburnya.

Aku mengambil sebatang rokoknya. Dan dia dengan tenang menyalakan koreknya untukku. Kuhisap dalam kretek itu. Kuhembuskan gelisah-gelisah yang memenuhi dada lewat asapnya. Aku terdiam memikirkan perkataannya. Mataku menatap kosong ke ujung mejanya. Apa yang salah dengan keputusanku? Di mana salahnya menikah, pikirku. Aku tahu dia sengaja diam dan membiarkanku berpikir. Tak juga berusaha membuatku merasa nyaman dengan apa yang kupikirkan. Ini bukan jahat. Tapi dialah guruku untuk sebagian besar kenyataan hidup yang tak selalu manis. Dialah pandai besi berstatus Sarjana Hukum yang membentuk sebagian besar pola pikirku dalam hati dan kepala. Dia kakakku satu-satunya. Yang tinggal sangat jauh; namun tak pernah terlalu jauh untuk sekedar datang dan memelukku sebentar saat aku sangat membutuhkannya.

“Kau mencintainya, Vik?”, katanya akhirnya. Pertanyaan ketiga yang sudah bisa kuduga setelah pertanyaan keduanya.

Aku menghela napas. Berat. Aku telah menduganya, namun tak juga tahu harus menjawab bagaimana. “Apakah dalam sebuah pernikahan harus selalu ada cinta?”. Aku menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan. “Apa tak bisa; atau tak boleh, jika menikah saja dulu baru membentuk cinta sesudahnya?”

Dia tersenyum yang nyaris tak tampak seperti senyum. Lebih mirip seringai bagiku saat itu. Menghembuskan asap rokoknya dan berkata, “Sayang, aku lebih banyak berada di dekatmu dari pada waktunya denganmu. Dan bertaruh dengan semua hartaku pun aku berani untuk mengatakan aku mengenalmu dengan lebih baik dari pada laki-laki mana pun di dunia ini yang mengaku mencintaimu. Selain Bapakmu tentunya.”

Aku masih diam, tak memandangnya. Memain-mainkan rokok di jariku. Dia melanjutkan, “Kau yakin dia mencintaimu?” Dia memberi jeda. “Paling tidak, kau tahu dia mencintaimu jika kau tidak; atau belum yakin kau cinta padanya. Itu saja buatku.” Kudiamkan dia, tak mau menjawab atau mengomentari pertanyaannya. Aku tahu sayangnya padaku melebihi apa pun. Bahkan melebihi sayangnya pada adik kandungnya. Aku tahu, semua pertanyaan dan pernyataannya ini ditujukan semata-mata untuk kebaikanku. Tapi aku sungguh tak punya jawaban pasti untuk semua ini. Aku memilih untuk diam dan menolak memberikan jawaban untuk sesuatu yang memang tak pasti.

“Kak, aku mau menikah. Hanya beberapa bulan dari sekarang. Dan kau sungguh tega membuka mata dan telingaku yang sengaja kututup rapat-rapat dengan pertanyaan-pertanyaanmu itu.” Aku berhenti sejenak, dia mendengarkan, kali ini sambil memandangku, tanpa aku memandangnya. “Aku sudah memutuskan hal ini. Dan betapa tak mungkin aku membatalkan semuanya di saat-saat ini. Aku tahu ke mana arahmu. Aku hanya berharap kau akan tetap ada untukku nantinya. Sekedar memberi peluk dan meminjamkan telingamu untukku disaat aku sungguh membutuhkanmu di depan sana. Bersedia kah kau melakukannya?”

Dia mematikan rokoknya. Meraih tanganku dan berkata, “Vik, kau tahu sayangku padamu seperti apa. Tak cukup kah itu untuk dijadikan alasan agar kau juga menyayangi dirimu sendiri?” Aku menunduk semakin dalam. “Dengar kesayanganku. Apa pun yang terjadi padamu di sana nanti. Saat kau menemui masa-masa sulit dengannya. Bahkan saat kau bertengkar hebat entah karena apa. Aku akan selalu ada untuk membelamu sebisa-bisaku.” Dia berhenti sejenak hanya untuk mendekatkan posisi duduknya padaku. “Apa pun masalahmu. Aku tak peduli kalau pun kau yang salah di sana. Aku akan berdiri paling depan untuk membelamu. Kau tahu kenapa? Aku tak pernah benar-benar mengenal laki-lakimu, dan aku sungguh tak rela kalau sampai kau tersakiti oleh perbuatannya. Aku tak peduli padanya. Tapi kau; kita disatukan oleh darah, Vik. Apa pun yang menyakitimu akan menyakitiku. Pahamlah dulu akan hal itu sebelum kau mengatakan aku jahat karena kau anggap tak mendukungmu.”

Dia beringsut ke sebelahku. Menarikku yang kehabisan kata-kata dan hanya bisa menunduk ke pelukannya. Mata kiriku meluap, airnya tak tertampung dan menetes jatuh di atas tangannya yang menggenggam tanganku. Aku bahkan kesulitan mengenali perasaanku sendiri. Dialah laki-laki paling tulus setelah Bapak yang mencintaiku tanpa mengharapkan apa pun. Dia tak pernah menyalahkan, tapi selalu mengarahkan. Karena menyalahkan hanya akan membuat jalan buntu, tak akan memberi penyelesaian.

Coba tunjukkan padaku, bagian mana dari semua yang dia katakan itu salah?

Dia lah kakak; saudara; kawan; bahkan juga kekasih buatku. Dia yang selalu direpotkan dengan penjelasan-penjelasan pada kekasih-kekasihnya yang cemburu pada perlakuannya padaku. Dia yang menyimpan hampir seluruh rahasiaku dan menjadikannya bagian dari dirinya. Dia yang rela kujadikan alasan pada kekasihku di waktu-waktu dulu. Dia yang pasrah saja dan mengatakan, “Gunakan aku sebrengsek-brengsekmu, Vik. Selagi kau bisa.” Cinta macam apa ini kau menyebutnya? Hanya padanya aku mampu membagi cerita tanpa perlu khawatir akan penilaiannya padaku.

Seno Merah, begitu dia menjuluki dirinya sendiri. Dengan rentetan cerita panjang dari dunia wayang tentang 2 tokoh Seno, dia katakan padaku, dialah Seno Merah. Tak ada yang perlu kuragukan padanya. Tak ada yang perlu kukhawatirkan saat aku bersamanya. Tak ada yang tak cemburu padaku melihat perlakuannya.

Kemudian dia berkata, “Sayangku, seorang teman bilang padaku; aku hanya memiliki tiga hal yang menjadikan aku penting bagi mereka; setia kawan, setia kawan dan setia kawan. Padamu aku hanya memiliki satu hal saja untuk menjadikanmu penting dalam hidupku; aku menyayangimu sampai tulang sumsum.” Dia meletakkan kepalaku di bahunya, “Aku berharap banyak padamu. Pada ketabahan, kesabaran, kesetiaan, loyalitas dan itegritas yang aku sendiri tak bisa ungkapkan. Aku butuh kamu untuk berlari bersamaku. Di tengah hujan yang kadang tak berisi air, tapi panah dan peluru tanpa ada tempat berlindung dan upaya selain menerimanya dengan gagah. Karena aku tak percaya takdir. Takdir adalah milik mereka yang memang dilahirkan beruntung atau mereka yang menyerah sebelum bertahan. Kita tidak dilahirkan untuk menjadi seorang yang sudah ditentukan. Satu-satunya nasib yang tak mungkin kita elakkan hanyalah kematian. Sisanya bukanlah takdir. Tapi sebuah sebab akibat yang saling bertautan. Tuhan memberi kita hidup, menunjukkan banyak hal untuk kita melewati dalam hidup, tapi menyerahkannya pada kita untuk menentukannya. Kita yang memilihnya. Menyia-nyiakannya atau memanfaatkannya sebaik mungkin. Aku butuh mencintai kamu dengan karaktermu yang kuat. Karakter yang hanya kamu yang punya. Karakter yang tak akan bisa dicuri orang, tak pudar oleh waktu, justru semakin baik. Buat aku semakin mencintai itu. Berjanjilah padaku tak ada yang akan membuatmu menyerah pada nasib walaupun dunia berkonspirasi melawanmu.”

Aku tersenyum mendengarnya berpanjang lebar. “Kak, aku tak kemana-mana. Aku hanya menikah. Dan kurasa aku tak akan mati semudah itu. Jika kau cemburu dan takut kehilangan aku dengan keputusanku ini, maka buanglah jauh-jauh pikiran itu. Aku paham dengan kekhawatiranmu. Tapi aku tak akan kenapa-kenapa, kurasa kau tahu sekuat apa kau telah menempaku. Aku tak akan kemana-mana, aku akan tetap ada untukmu kapan pun kau membutuhkanku. Walau mungkin aku akan butuh sedikit kelonggaran waktu agar kau mau menunggu. Nantinya, saat tiba waktumu pada keputusan yang ada padaku saat ini, aku tahu itulah yang terbaik buatmu. Bahwa dialah perempuan yang akan merasa beruntung selama sisa akhir hayatnya karena telah menemukanmu. Dan kumohon, berikan aku kekuatan itu.” Kini aku memandangnya. “Yang kubutuhkan tak banyak. Aku hanya mau kau ada. Dan aku percaya kau akan selalu ada. Maka jika boleh kuminta, di hariku nanti, tanggalkan semua kesibukanmu. Hadirlah untukku. Berdansalah denganku di hari bahagiaku. Sekali ini saja. Demi aku. Demi seluruh waktu yang pernah kita lalui dan selamanya akan bersemayam dalam dada kita. Tak usah mengharapkan orang lain untuk paham. Karena itu akan sangat menyulitkan mereka. Aku menyayangimu dengan caraku. Dan hanya kamu yang tahu.”

“Ya, kurasa aku hanya tak siap kehilangan kau dan waktumu untukku.”, akhirnya dia bicara. “Jika ini membuatmu bahagia, bagaimana bisa aku tak mendukungmu? Aku akan datang, Vik. Untukmu! Kau mau hadiah apa dariku?”

“Datang saja. Itu hadiah terbaik untukku.”



*Ditulis untuk Seno Merah tersayang. Selamat ulang tahun, kesayanganku. Berlimpahlah berkah untukmu. Deraslah arus kebahagiaan dalam hidupmu. Dan jangan pernah meninggalkan langut-langutmu. Yang membawakan banyak tulisan, lukisan dan karya di usiamu. Sayang kamu kak, selalu dan selalu.

*Beberapa bagian dari tulisan di atas diambil dari blog www.senomerah.blogspot.com (Mari Tiup Lilinmu, Sayang & Masih Tentang Bertahan Hidup, Sayang)



Jogja, 6 Mei 2017



love, vie      

Senin, 03 April 2017

Jangan Pernah Kembali

Kau tahu apa yang kurindu;
Menantimu menyelesaikan cerita yang kau akhiri dengan senyum yang tak pernah gagal membuatku terpesona
Mendengarmu bercerita seperti menikmati kopi sore yang dibuat oleh barista terbaik di dunia
Menikmati sesap demi sesap dengan pelan yang lebih lambat dari kecepatan seorang anak yang belajar berjalan
Betapa tak ingin aku segera mencapai ujung cerita

Kau tahu apa yang kusuka;
Duduk di dekat jendela, bersamamu menikmati hujan di beranda Prada
Tak perlu bicara pun tak apa, wangi kopi dan bunyi mesinnya bahkan terasa nyaman di telinga
Hujan yang tak seberapa dan jantung yang berdetak ritmis mengikutinya
Sering kuminta ini bisa berlangsung selamanya

Kau tahu apa yang kupelihara;
Bermacam-macam warna yang ribuan banyaknya
Biru, merah, hijau bahkan jingga dan kawan-kawannya
Mereka yang menetap dan menjaga napasku dalam relung paru-paru
Dengan rasa yang tak ada perumpamaannya

Kau tahu apa yang membuatku tak bahagia;
Semua yang pernah kau katakan
Rasa yang pernah kau berikan
Ingatan yang pernah kau ciptakan
Yang melekat sempurna di dada dan kepala
Yang ingin kulupa namun memaksa tetap tinggal di sana
Dan aku sungguh tak punya daya untuk menyudahinya

Malam nanti
Saat telah lelap tidurmu
Rindu dan cintaku akan kuberi tahu
Kau tak lagi mencintaiku

Engkau yang pergi
Engkau yang tak lagi peduli
Jangan pernah kembali





Jogja, 4 Maret 2017
love, vie        

dedicated to Pintaka Yuwana a.k.a Mas Ko
owner of Prada Coffee Shop
Selamat ulang tahun, serta mulia dan bahagia
in good coffee we trust, in hand stand we crash! hahaha.. xxx

Kamis, 23 Maret 2017

Anugerahi Aku Lupa

Secangkir teh di mejaku


Sore yang abu-abu di tengah ketiadaanmu


Seucap kangen yang tak bisa kusampaikan padamu

Sedingin embun yang menggelayut di daun kecil di pinggir jendelaku

Sehangat air mata yang jatuh di pipi saat kuingat senyummu

Mataku memang tak setabah hatiku

Dia terlalu perasa saat kau hadir tiba-tiba merajalela di kepala

Bangku kosong di depanku mengingatkan pada jarak yang semakin sulit diukur di antara kabar yang semakin mengabur

Menghapus senyumku yang dulu meluluhkanmu katamu

Menggantinya dengan sesak tak terkira di dada

Isak yang begitu tangis

Perih yang mengalir lirih

Tak kan lagi kutanya kabarmu bagaimana

Katamu kau lebih bahagia bersamanya

Lalu alasan apa lagi yang membuatku tak rela?

Semoga Tuhan menganugerahiku lupa

Aku akan berpura-pura bahagia

Walau dunia tahu aku tak pandai melakukannya

Tapi biar kucoba, kau harus tahu aku tak pernah menyerah begitu saja

Bahkan dalam hal yang sama sekali aku tak bisa






Jogja, 24 Maret 2017
        love, vie        

Selasa, 14 Februari 2017

What If

HP ku berdering. Kulihat namanya di layarku, i swipe the screen and, "Hellooo,,". Sambil tersenyum yang sulit kugambarkan seperti apa manisnya.

"Hello gorgeous! How you doin' today?", katanya.

"Wonderful, since i catch your name in my phone couple sec ago", jawabku.

Kudengar dia menghela napas di seberang sana. "Kamu paling bisa urusan bikin orang salah tingkah ya.. So, jadi kita jumpa hari ini?"
"I don't have an option in my answear list for this question, yes dear.."

"See,,,??? I wonder who taught you this! Ok, sampai jumpa sore nanti. Semoga aku tahan untuk tetap bisa terlihat baik saat kau membuatku hampir gila seperti ini." Klik! Dia menutup telepon.

Aku mengenakan dress simple warna hijau, dan make up tipis dengan pewarna bibir pink muda. Duduk di meja barisan pinggir di cafe klasik yang memang tak pernah begitu ramai. Menunggunya.

Tak lama tiba-tiba saja dia sudah berdiri di sampingku, wangi sekali. Aku berdiri dengan canggung, berciuman pipi dengannya. Bisa kurasakan pipiku sedikit gatal saat menyentuh jambangnya. Aduh, laki-laki ini!
"Jadi, apa yang membuatmu tak punya pilihan jawaban lain selain menemuiku? Sebegitu rindu kau padaku?", katanya mengolok.

"Well, kau sendiri yang mengatakan, jika sudah tak tahan, silahkan lambaikan tangan ke kamera, bukan? Tapi kupilih melambaikan tangan padamu dan berciuman pipi seperti tadi untuk kemudian bisa menatapmu seperti ini."

Sukses! Mukanya memerah dan sedikit tampak kesal.

"Tak bisa kah kau tak membuatku salah tingkah seperti ini, sebentar saja?"

Dia diam sejenak, menatapku, kemudian berkata, "Aku rindu, sungguh rindu."

Aku tersenyum saja, menatapnya, "Aku tahu. Kau terganggu dengan itu?"

"Kamu itu candu. Pergi ke pusat rehabilitasi pun aku tak akan sembuh jika tak menemuimu."

Dia menghela napas, sambil meraih sebatang rokok dan menyalakannya. Menghembus-hembuskan asapnya ke atas agar tak mengenai wajahku. Kemudian seorang barista mendatangi kami sambil membawakan menu.

“Hot coffee latte, please”, kataku kemudian tanpa melihat ke buku menu
“Hot tea, English Breakfast please”, katanya menyusul dan barista itu tersenyum sambil segera meninggalkan kami.

Aku duduk bersandar memandangnya. Dia melipat kedua tangannya di pinggir meja di hadapanku sambil menatapku. Kuayunkan sedikit daguku ke depan, seolah bertanya “what?”, tanpa kata, menantang dengan cara yang manis. Aku tahu dia pasti paham dan kemudian menggeleng sedikit sambil menjawab, “Entahlah. Ini sebuah pertanyaan yang sulit. Aku tak tahu apakah memang pesonamu yang sebesar itu, atau alam semesta ini yang terlalu lemah dan tak tahan untuk tak terpesona.”

Aku tersenyum mendengarnya, kali ini dengan jajaran gigiku terlihat karena mulutku yang sedikit terbuka, senang mendengarnya, namun tak juga berkata-kata.

“Kau makan apa siang tadi?”, lanjutnya.
“Kenapa?”
“Kau begitu menyebalkan hari ini. Mungkin saja ada yang salah dengan pilihan makan siangmu tadi.”, jawabnya kesal.

Aku tak bisa menahan tawaku yang bersuara sedikit keras namun segera tersadar dan menutup mulutku dengan kedua tanganku. “Ups, maaf.”, kataku sambil nyengir.

Dia meneguhkan dengan mengacungkan telapak tangan kanannya yang terbuka di depan kami sambil berkata, “See..?”, kemudian membuang muka kesal ke arah jendela.

Aku tak segera menanggapi. Masih juga bersandar dengan senyum menampakkan gigi. Tanpa suara. Menikmati saja kekesalan di wajahnya. Hingga akhirnya pesanan kami datang, kuucapkan terima kasih pada si barista yang segera berlalu setelahnya.

“Kau tahu? Aku selalu merasa kesal jika kopiku disajikan dengan latte art di atasnya seperti ini!”, kataku akhirnya menyudahi diamku.

“Kenapa? Bukankah itu salah satu bentuk karya seni dari sebuah minuman yang memang sangat kau suka? Kopi!”

“Aku memang menyukai kopi. Tapi benci setengah mati jika harus merusak latte art yang sudah dibuat dengan susah payah oleh mereka ini. Kan tak mungkin kopi ini kuminum tanpa harus mengaduknya terlebih dulu.”

“Hmmm… Kamu bisa sentimentil juga rupanya. Yasudah, tak usah kau aduk dan kau minum. Biarkan saja kopi itu tetap di situ dan bayangkan saja rasanya. Selesai perkara.”, jawabnya puas mendapatkan celah untuk mengolokku lagi.

Aku diam sejenak untuk memberinya kesempatan menikmati kemenangan. Kemudian berkata, “Mmmm.. itu sama saja dengan menyuruhku tak memikirkanmu sejenak saja di hari-hariku. Tak mungkin mampu aku melakukan itu.”, sambil tersenyum tipis menatapnya. Skakmat! Aku tahu dia tak siap dengan jawabanku, namun berusaha untuk bersikap biasa.

“Kurasa entah sarapan atau makan siangmu tadi pasti mengandung vitamin dengan dosis tinggi sekali. Sesekali makanlah makanan rendah gizi, cerdasmu kelewatan!”, jawabnya kembali kesal dan membuatku tertawa karenanya.

Aku menatapnya diam. Kasihan juga lama-lama padanya.

“Maafkan, aku hanya tak pandai menyampaikan apa yang kurasa dengan cara yang baik seperti caramu menyampaikan yang kau rasa.”, kataku kemudian

Dia menatapku dan menghela napas. Masih bisa kulihat rindu yang disampaikannya di awal perjumpaan tadi di antara sisa kekesalan pada apa yang sejak tadi kulakukan. Kami saling tatap dalam diam. Dan ternyata aku tak mampu melakukannya lebih lama. Kuambil sesendok kecil gula dan mengaduknya rata dalam cangkir keramik berwarna merah menyala yang sejak tadi kudiamkan saja. Meminum kopiku dan membuang pandangan jauh ke luar jendela.

“What if…”, kata-katanya menggantung. Aku kembali memandangnya, menantinya menyelesaikan kalimat.

“You can never see me again?”

Aku hampir tersedak mendengar lanjutan kalimatnya. “Why?”

“I ask you first, and ‘why’ is not an aswear but a question dear, please..”

Aku kebingungan dan hampir tak menemukan jawabannya. “Well, there must be a good reason if it’s happened. And so far I didn’t see any good reason to stop seeing you, why can’t I see you then?, kataku akhirnya.

Dia terdiam sejenak dan melajutkan berkata, “I’m leaving abroad, soon..”

Aku terhenyak ke sandaran kursiku. Banyak hal berkecamuk di kepalaku saat ini. “Ya..? What for?”

“I got a new assignment, they have to put me in our new office in London.”, jawabnya sambil terus memandangku dengan mata sayu.

“Wow, congratulation! It’s a good news, right?”, jawabku mencoba menutupi keterkejutan yang kuyakin gagal setelah mendengar perkataannya kemudian, “Is it?”

Aku terdiam, kembali dibuatnya bingung dengan pertanyaan.

“For how long you’ll stay there?

“So long, dear. So long that I can’t tell you until when.”

“Well, ummm…”, aku kehabisan kata-kata. “You still can visit me sometime, or maybe I can go there to visit you someday.”, sambil mendekatkan tubuhku ke arah meja, ke arahnya. Kami berbicara cukup dekat sekarang tak lagi bersandar. Sama-sama melipat tangan di atas meja yang hanya berukuran 60 x 60 centimeter.

Dia tersenyum yang dipaksakan dan berkata, “Ya, walau tak semudah mengatakannya”. Flat.

Aku diam. Dia pun diam. Aku menunduk memainkan jemariku. Dia memandang jauh ke luar jendela entah ke arah mana. Kupandangi latte ku yang mulai dingin dan tak lagi ada bentuk hati di atasnya. Rusak terkoyak sesendok gula yang kuaduk ke dalamnya. Ada rasa menyesal di dada. Mestinya aku tak perlu lagi menambahkan gula untuk secangkir kopi yang memang sudah enak rasanya. Kuingat kau pernah berkata, bahwa kadang untuk beberapa hal yang memang diciptakan dengan rasa pahit sebaiknya biarkan tetap pahit, karena menambahkan pemanis pasti akan mengurangi nikmatnya. Sesekali kita harus belajar menerima kenyataan. Menerimanya saja dan menikmati pahitnya. Tak perlu melakukan perlawanan. Untuk beberapa hal, melawan hanya akan membuat kita lebih terpuruk dan itu pasti menyakitkan.

Hari ini, kita dihadapkan pada sebuah keadaan yang tak mungkin kita lawan. Perpisahan memang tak pernah menyenangkan. Aku sengaja mengambil cuti agar bisa mengantarmu. Inginnya sampai depan pintu garbarata. Namun sampai pintu masuk bandara pun tak apa lah. Bahkan keinginan-keinginan yang ada harus rela dikalahkan dengan keadaan dan kita hanya bisa menerima saja. Kau genggam tanganku dan memandangku saja dalam diam. Hampir satu menit lamanya.

“Promise me one thing.”, katanya.

“What?”

“Send me picture, voice note, text and anything about you. Just as often as possible. Please …”

Aku tersenyum mendengarnya. “What if I refuse to do that?”, jawabku dengan senyum menggodanya.

“How could you do that? Even in this wee little time you still try to harassed me?”

“Nooo.. don’t get me wrong. It’s just my way to ask, will you miss me that much?”

“What makes you think I won’t?”, jawabnya sedikit bersungut.

Aku tersenyum tenang memandangnya. Sambil menggeleng dan berkata, “I know exactly you will. It’s just … I have no idea until when will you have that feeling for me. And what if you don’t miss me anymore?”

Dia tak menjawab namun segera memelukku. Erat sekali. Tak pernah kami berpelukan seperti ini. Biasanya hanya bercium pipi saja saat bertemu dan berpisah.

“Please, don’t ever think like that. It really broke my heart.”, bisiknya padaku.

Aku menghela napas, sambil mengelus punggungnya dan berkata, “Mmmhhh.. I’m so sorry. I’m just trying to be realistic, darling. Never have in mind to break your heart. Never.”

Dia melepaskan pelukannya. “So, please say yes.”, katanya sambil memandangku.

“I will, sir!”, jawabku dengan sikap hormat kepada seorang komandan.

Dia tersenyum bahagia. “See you when I see you, gorgeous!”, sambil mencium pipi kiriku kemudian mencubit kecil ujung hidungku.

“See you when you see me, bad boy!”, jawabku tersenyum.

Dia melangkah masuk ke dalam bandara setelah memperlihatkan boarding pass yang sudah dicetak beberapa jam sebelumnya. Menengok sekali kepadaku dan melambaikan tangannya serta memberi kecupan jauh dari bibirnya. Ada rasa kehilangan yang tiba-tiba mengalir deras di dada. Senyumku memudar perlahan dengan kedatangannya. Seperti terlempar jauh ke ruang hampa udara yang tak kuketahui jalan keluarnya.

HP ku berdering, kulihat namamu di sana.

“Miss me already?”, jawabku ceria penuh semangat seperti orang yang baru kesulitan bernapas dan mendapatkan oksigen yang berlimpah banyaknya.

“I do …”, jawabnya dengan nada penuh duka.

“What if, I give you my smile, are you gonna stay for a while?”, kunyanyikan lirik lagu milik Mocca, mencoba menghiburnya.


“I’ll stay forever!”




Jogja, February 14th 2016
love, vie             

        

Sabtu, 04 Februari 2017

Jatuh Cintaku Yang Tak Kau Tahu, Atau Kau Yang Memang Tak Mau Tahu

Demi binar itu, aku rela menelan saja lanjutan kata yang sudah ada di ujung lidah
Menunggumu menyelesaikan senyum
Dan menanti kejap di matamu yang bintang mana pun tak sanggup menandingi
Hampir saja kulupa cara bernapas karenanya

Menyimakmu berbicara seperti hujan yang berderai pelan dengan jeda ritmis sesorean
Membaur sempurna dengan wangi tanah yang basah
Yang memaksa banyak makhluk untuk berhenti ber-apa saja dan pasrah menikmatinya
Bahkan terlalu sayang rasanya melewatkan satu kata saja dari cara bicaramu yang begitu mempesona

Demi helai rambut yang jatuh di wajahmu saat kumenatapmu
Aku rela menunda meminum teh yang sudah kugenggam cangkirnya
Menantimu menyibakkan rambut ke belakang kepala
Dan melihat mereka kembali jatuh tak beraturan begitu saja yang entah bagaimana tak juga membuatmu kesal karenanya

Mendengar gesekan nada dari biola yang kau alunkan di sesela kebersamaan kita
Seperti mengingat lagi sebuah masa yang sudah terlalu sulit kumengingatnya
Saat sepasang telinga yang tanpa sengaja mendengarnya, tak dapat melawan keinginan mata untuk memejam, dan tenggelam begitu khusyuknya
Bahkan senyum bahagia yang lama tak kujumpa hadir begitu saja tanpa harus kuminta

Tahukah kau, hampir setiap napas yang kuhela
Setiap kedipan kedua mata yang membuatku tetap terjaga
Bahkan setiap desir yang terjadi di dalam dada
Tak pernah sebegitu menyiksa di malam-malamku sebelumnya

Tapi aku begitu rela menjalaninya
Menjaga rasa yang ada tetap utuh di dalam sana
Merindukanmu hampir di setiap detik yang tega berlalu tanpa memberiku waktu sebentar saja untuk tak mengingatmu

Jatuh cintaku yang tak kau tahu, atau kau yang memang tak mau tahu?


Selasa, 24 Januari 2017

Chapter I

THE UNIVERSE CONSPIRES AGAINST ME

Kulihat dia mengemasi alat musiknya. Sebuah benda bersenar gesek yang sangat disayanginya. Tak seperti hari sebelumnya. Tak ada keceriaan di wajahnya malam ini, hanya dia berusaha tak menampakkannya.  Dia menghampiriku dan mengambil posisi duduk di kursi samping dari meja kami yang bujursangkar, bukan di depanku seperti biasanya.

“Kamu sudah makan?”, tanyanya.

“Sudah dong..”, jawabku penuh senyum memandangnya

“Ok, kita jalan sebentar lagi ya, aku pamit sebentar sama anak-anak.” 
Yang kujawab dengan anggukan  dan senyum yang belum berkurang. Kuperhatikan saja dia dari meja kami. Mengobrol dengan kawan-kawan bandnya yang selalu saja menggodanya dengan banyak hal. Tapi begitulah dia, tak pernah bisa marah pada mereka yang sangat sayang dan disayanginya sejak lama. Kulihat mereka tertawa begitu lepas dan bahagia.

Tak sampai lima menit dia kembali dan mengajakku pergi. "Aku pulang yaa, sampai jumpa.", kataku dari jauh pada teman-temannya yang dibalas dengan lambaian tangan ramah mereka.

Di mobil dia menyetir saja dan tak lagi banyak bicara seperti siang tadi.
"Are you ok?"

"Iya, kenapa?", jawabnya sambil membetulkan kacamata

"Tak apa, hanya kurasa kau lebih banyak diam malam ini, tak seperti siang tadi. Lelah kah?"

"Enggak...", jawabnya sambil senyum melihatku sebentar dan mengusap tangan kananku. "Keretamu jam 23 kan? Kita ngobrol di coffeeshop stasiun saja ya, supaya tak buru-buru." Dan aku hanya mengangguk penuh setuju dengan senyum di bibirku.

Setelah mencetak boarding pass, aku menyusulnya di coffeeshop kecil di bagian depan stasiun ini. Mendekatkan kursi dan duduk di sampingnya.

"Kenapa senyummu?", tanyaku.

"Kenapa senyumku?", dia balik bertanya.

"Tak apa, tapi kuhitung tak sebanyak kemarin dan siang tadi. Aku khawatir kau lupa membawanya malam ini.", jawabku tersenyum padanya.

Tak ada jawaban dan wajahnya kini jadi memuram. Dia memandangku diam, diam dan penuh kesedihan.
"Hei, kau kenapa? Ada yang salah dari yang kukatakan?", tanyaku kemudian.

Dia membuang napas berat dan akhirnya berkata, "Tak apa, hanya tetiba berat rasanya."

Aku menaikkan alis menunggu lanjutan kalimatnya. "Ya, entah kenapa tetiba seperti ini rasaku. Seperti tak yakin kapan lagi bisa menemuimu. Hmm.. Ah, ini salahku, tak seharusnya merasa seperti ini, bukan?", mengakhiri kalimatnya dengan kalimat tanya.

"Hmm.. Kau kenapa? Kau ingin aku tinggal lebih lama? Kau tahu kan, aku harus kembali ke sana?", jawabku tetap dengan senyum walau tak semanis sebelumnya.

"Ya, aku tahu. Maka kataku tak seharusnya aku merasa begitu. Hanya saja...", tak dilanjutkan kalimatnya dan membuang muka ke arah lain.

Kucari wajahnya, menariknya ke arahku dan berkata, "Sayang, cemburu kah yang kulihat di matamu itu?". Kupandang dalam matanya, dia terdiam saja, ada sedih yang menggenang di sana. “Seingatku baru kemarin kau katakan kita harus sadar dengan kondisi kita bukan? Dan setengah mati aku menipiskan rasa yang ada sebelumnya, bahkan sempat berpikir untuk menyudahinya. Karena tak baik rasanya menyakiti hati sendiri. Lalu sekarang kau bersikap begini.”, lanjutku pelan dan penuh kehati-hatian. Sungguh tak ingin menyakiti laki-laki yang begitu kusayangi.

Dia mengeluarkan sebatang rokok milikku dan mulai menyalakannya. Menghembuskan asap yang berat dan mulai berkata, “Aku orang yang sangat realistis, kau tahu itu. Maka kukatakan hal itu siang lalu, hanya mencoba tetap menjaga kesadaran kita pada euphoria yang ada di depan mata. Tapi ini apa, aku bahkan tak dapat mengenali perasaanku sendiri. Ya, ini salahku memang, laki-laki tak seharusnya begini.”

“Aku mengajakmu bicara begini bukan untuk mencari siapa yang salah. Please, kita sudah sama-sama dewasa. Tak pantas rasanya berbicara hanya untuk mencari-cari salah siapa. Coba katakan padaku, seperti apa rasamu. Kecuali kau memang tak ingin aku tahu.”

Dia memandang dalam ke mataku, ada sayang yang dirundung sedih di sana, “I love you.”, sambil menggenggam tanganku kemudian menunduk tanpa melepaskannya.

Aku diam, tak tahu harus berkata apa. Mungkin begitu pun dia. Tetiba sesak rasa dada ini. Dinginnya udara seperti tak lagi ada artinya saat kudengar kata-katanya. Ada yang hancur lebih dalam lagi ketika mata kami beradu. Sayang yang begitu sulit digambarkan. Rindu yang entah bagaimana harus diselesaikan.

“Sayangku..”, kusentuh lembut pipi kirinya dengan tangan kananku. Dia memberiku senyum yang jika kau lihat kau akan tahu betapa dia tak ingin aku merasakan sakitnya.

“Apa menurutmu ini begitu mudah bagiku? Jika kau melihatku baik-baik saja dan tampak bahagia nantinya di sana, percayalah aku orang yang pantas mendapatkan piala Oscar setelah Marlon Brando dan Alpacino. Bahwa yang kau rasa sudah lebih dulu kupunya. Bahwa kisah kita tak mungkin kubagi dan aku harus menguatkan hati menyimpannya sendiri.”, lanjutku.

“Baru kemarin kau katakan padaku bahwa kita harus bahagia. Aku bahkan sempat percaya bahwa kau memang tak memiliki rasa yang kurasa. Sempat berpikir untuk menghapusnya saja supaya bisa merasakan bahagia yang kau sebutkan. Karena aku selalu siap menghadapi apa pun, hanya tak punya cukup waktu untuk rasa sakitnya.”

Dia diam saja mendengarkanku berbicara. Ada genangan tipis di sudut mataku yang kutahan sebisa mungkin agar tak mengajak kawan-kawannya. Tapi kemudian naluri laki-lakinya terbangunkan. Dibangunkannya tubuhku dan dipeluknya erat sekali. Sambil berkata di samping kepala, “Kau tahu kunci dari bahagia? Sungguh hanya sesimpel memiliki kesehatan yang baik dan ingatan yang buruk. Tapi kau, kau adalah satu-satunya hal di ingatanku yang aku tak pernah ingin lupa. Dan aku sungguh rela merasakan setengah bahagia saja.”

Tetiba dia menyanyikan Glow milik Frau, suaranya yang merdu mengalun lirih di telingaku, sambil memeluk dan mengayun tubuhku pelan sekali.

Hold me, you shall never ever see me
Blankets will not hesitate me
Flowers shant even wake
Kiss me, this the last time you may see me
This the last time light shall harm me
I shall cry myself to death
Funny, how you never showed your love to me
Lovely, oh the lights I can see
It’s gleaming in my eyes like when you
Burned me, tear my skin off and leave me
This the last time you may hold me
This the last time I shall say good bye

Aku menangis begitu saja di peluknya. Luruh sudah semua ketegaran yang kupunya. The universe conspires against me.


Jogja, 24 Januari 2017




catatan kaki:
lirik lagu Glow by Frau
pict by Google


Sabtu, 14 Januari 2017

Surat

Pernah pada suatu sore yang mendung, di sebuah kedai kopi sederhana yang hanya memiliki kopi enak saja, di sudut sebelah bar dekat jendela yang menyambut angin dengan penuh keramahan, seorang perempuan duduk sendirian. Dia nampak begitu murung dengan pena di tangan kanan dan sebuah kertas berisi tulisan tangannya sendiri. Sesekali berhenti menulis, memandang ke luar jendela yang sedikit terhalang oleh tanaman dalam pot yang tingginya setara dengan orang duduk, memejamkan mata sebentar dan menarik napas panjang, kemudian kembali menulis. Cukup sering dia melakukannya. Kadang menyibak rambutnya yang turun sedemikian rupa menutup wajahnya yang menunduk saat menulis. Entah apa yang dirasakannya. Entah kesedihan macam apa yang sedang menimpa hatinya. Sempat beberapa saat matanya berair, namun segera dilepasnya kacamatanya dan menempatkan dua jari di tengah-tengah antara kedua matanya dan memijit-mijitnya, seperti berharap yang dia lakukan dapat mencegah air matanya terjatuh dan cukup menyamarkannya.
 

Dia meminum coffee latte dari cangkirnya dengan gerakan yang begitu pelan seakan tak ingin kopinya segera habis. Lalu menggenggam cangkir kopi berwarna merah itu dengan kedua tangannya di atas meja, seperti mencari sesuatu yang dapat menghangatkannya. Apa yang membuatnya begitu dingin? Diraihnya HP dari dalam tas kecil berwarna biru yang diletakkan di pinggiran meja. Membuka semua aplikasi chat yang ada di dalamnya, seperti berharap ada pesan masuk dari seseorang entah siapa namun tak juga menemukannya. Dia meraih sebuah earplug dari dalam tasnya, memasangnya ke HP dan telinganya lalu mencari playlist dari sebuah aplikasi musik.
 

Dia berhenti menulis, diletakkannya pena di atas kertasnya begitu saja, hanya supaya angin tak menerbangkannya. Mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam tas dan menyalakan sebatang. Menghisap rokoknya dengan pelan dan dalam, mengotori paru-parunya dengan asap dan kemudian menghembuskannya hinga membentuk sebaris asap panjang yang terpecah oleh angin di ujung jendela. Sekarang yang dilakukannya hanya diam memandang ke luar jendela dengan sebatang rokok terselip di atara telunjuk dan jari tengah tangan kanannya. Melipat tangan kirinya untuk menyagga siku kanan dan memejamkan mata begitu saja mencoba menikmati sang waktu dengan playlistnya. 

Hal ini berlangsung cukup lama, hingga saat rokoknya tinggal sepertiga batang dia mematikannya dan meraih lagi penanya. Mulai menuliskan lagi sesuatu yang cukup panjang di kertasnya. Setelah selesai dia melipatnya, memasukkan ke dalam amplop dan segera mengemasi barang-barangnya. Menyelesaikan kopinya yang sudah dingin dan beranjak ke bar menghampiriku.
 

Dia menyerahkan selembar uang seratus ribu padaku sambil berkata, "Mbak, apa saya bisa menitipkan sesuatu di sini?
 

"Boleh mbak, asal bukan bom isinya, hehe..", jawabku mencoba menghadirkan senyum di wajahnya yang lebih murung sekarang
 

Dan dia pun tersenyum, sebuah senyum yang sangat dipaksakan hanya demi menghargai usahaku, "Enggaklah, mbak. Saya cuma mau nitip surat ini saja. Tolong berikan pada seorang laki-laki. Tingginya sekitar 174 cm, kurus, berambut ikal sebahu. Dia berjanji akan menemui saya di sini, tapi saya rasa durasi menghabiskan secangkir kopi panas yang sudah menjadi dingin di tegukan terakhir cukup bagi seorang perempuan yang menunggu. Sebaiknya tak lebih dari itu." Sambil tersenyum yang hampir tak tampak seperti senyum, kesedihan yang terkulum.
 

"Tapi mbak, maaf, bagaimana caranya saya bisa tahu laki-laki yang mbak maksud? Sedangkan melihatnya pun saya belum pernah.", jawabku ragu.
 

"Mbak akan menemukannya. Dia laki-laki dengan susunan gigi yang sangat rapi dan senyumnya begitu manis. Memakai kacamata minus dan matanya pun teduh. Dia biasa memakai wewangian citrus aqua. Saya yakin mbak akan dengan mudah mengenalinya. "Kali ini ada sirat binar di matanya saat memberikan penjelasan tentang detail si laki-laki.
 

"Ngggg.. Tapi mbak, bagaimana kalau nanti saya salah orang?"
 

"Saya percaya pembuat kopi enak secanggih mbak tak akan meleset dalam hal detail. Tak mungkin salah. Please mbak, waktu saya tak banyak. Tolong saya ya..?"
 

Bagaimana aku bisa tega berkata tidak, sedangkan sejak duduk tadi wajahnya sudah penuh gelisah yang berakhir dengan kecewa. "Yasudah mbak, saya lakukan semampu saya ya, doakan saya tak salah orang mbak, hehe" Kubuka laci dan mengambil uang kembalian untuknya, tapi saat akan memberikannya dia sudah sampai di bibir pintu dan dengan agak terburu-buru mengatakan, "Oya, dia bukan peminum kopi, biasanya dia akan memesan teh panas." kemudian segera menghambur di kerumunan orang yang berjalan kaki. Aku sempat memanggilnya beberapa kali yang kuyakin dia mendengarnya, namun seperti sengaja segera menjauh.
 

Hari ini hampir genap satu bulan dan aku belum juga menemukan laki-laki yang dimaksud perempuan itu. Atau jangan-jangan aku melewatkannya? Oh, kuharap tidak, karena ini amanat. Bagaimana jika isi surat itu begitu penting untuk disampaikan bagi perempuan itu?
Hingga sore ini, ketika matahari sudah teduh, dan angin pun berhembus begitu pelan penuh kehati-hatian. Seorang lelaki datang, melihat sekeliling sebentar untuk memilih tempat duduk dan akhirnya duduk di meja dekat jendela yang diduduki perempuan itu dulu.


Kudatangi dia untuk menyerahkan menu dan mencatat pesanannya. Diterimanya buku menu dariku sambil tersenyum, manis sekali. Dan saat itulah, angin yang berhembus pelan menyampaikan padaku wangi perpaduan citrus aqua yang kuyakin dari laki-laki ini. Maka ingatanku tertuju pada sebuah surat dari seorang perempuan yang sudah hampir sebulan kusimpan saja di dalam lokerku. Segera kuperhatikan laki-laki yang sedang membaca buku menu di depanku dengan lebih seksama. Rambutnya ikal sebahu, tinggi sekitar 174 cm, memakai kacamata minus dan memakai wewangian beraroma citrus aqua. Kemudian saat dia menyebutkan pesanannya dan mengatakan terima kasih, barulah terlihat olehku susunan giginya yang rapi menyempurnakan senyumnya dan dia memesan teh hitam panas.
 

Aku segera berlari ke belakang bar dan membuatkan secangkir teh panas pesanannya. Lalu mengambil sepucuk surat di loker dan memasukkannya ke kantong di bagian depan apronku. Mengantarkan teh ke mejanya dan memberanikan diri bicara padanya.
 

"Mmmm.. Maaf mas, saya boleh mengganggu sebentar?"
 

"Ada apa, mbak?"
 

Aku mengambil kursi di sebelahnya dan mulai bicara. "Sekitar hampir sebulan lalu, ada seorang perempuan yang duduk minum kopi sendirian di sini." Dia mulai sadar bahwa yang akan kubicarakan adalah sesuatu yang sedikit serius. "Cukup lama dia duduk di sini menanti seseorang sambil menulis. Walau akhirnya orang yang ditunggunya tak kunjung datang dan dia memutuskan menitipkan sebuah surat kepada saya untuk saya sampaikan pada orang yang telah dinanti-nantinya itu."
 

Dia terdiam, nampak berpikir. Aku melanjutkan, "Mmm.. Maaf sebelumnya mas, tapi dari ciri-ciri yang dia sebutkan pada saya, saya rasa orang yang dia maksud adalah mas. Saya sedikit bingung karena dia tidak menyebutkan nama orang yang dimaksud. Nggg.. Kalau boleh tahu, apakah mas pernah membuat janji dengan seorang perempaun di tempat ini sekitar sebulan lalu dan mas tak bisa datang karena sesuatu hal?"
 

Dia terdiam lagi, mencoba mengingat sesuatu lalu bertanya, "Seperti apa perempuan itu?"
 

"Dia berambut lurus dan panjang. Tingginya saya yakin lebih dari 165 cm namun tak lebih dari 170 cm. Sore itu dia memakai skinny jeans hitam berpadu dengan kemeja warna putih serta flatshoes warna biru. Dan kalau hidung saya tak salah, dia memakai wewangian beraroma shea."
 

Lelaki itu terdiam lagi dan sedikit menunduk agak lama, lalu kusadarkan dia, "Nggg mas...!" Dia sedikit tergagap lalu mengeluarkan HP dari sakunya dan mencoba mencari-cari sesuatu di sana untuk beberapa lama dan mengatakan, "Apakah perempuan ini yang sore itu kemari, mbak?" sambil memperlihatkan foto seorang perempuan manis berambut panjang dari sebuah akun instagram.

"Jadi betul mas laki-laki yang dia tunggu-tunggu sore itu?", jawabku singkat sambil mengeluarkan sepucuk surat dari dalam kantong apronku dan berkata datar, "Seandainya mas datang saat itu, mungkin wajahnya akan tetap secantik foto di instagram tadi saat ini. Saya hanya melihat kecewa yang terlalu dalam sore itu." kemudian meninggalkannya dengan sepucuk surat itu.
 

Aku berusaha menyibukkan diri di balik meja bar. Hanya sesekali melihat ke arahnya sekilas. Kulihat dia membuka amplop perlahan dan mulai membaca.

Surat


Prada, January 11th 2017
 

Dear, You..
 

Kau tahu terbuat dari apakah rindu?
Wangi secangkir kopi dan sejurus pandangan mata yang jatuh tak jauh dari layar telepon genggam yang masih saja diam tak menyampaikan kabar..
 

Kau tahu, sejak awal pun aku sadar betul bahwa kita tak mungkin melangkah lebih jauh lagi bersama. Tapi apakah sesulit itu bagimu untuk sebentar saja meletakkan ego dan menahan kata-kata yang tak perlu kau ucapkan pun aku sudah tahu? Apa aku meminta terlalu banyak darimu? Kurasa kita sudah sama-sama dewasa dan bisa lebih bijak menghadapinya.
 

Aku menunggumu, selalu begitu bukan? Tapi menghabiskan secangkir kopi panas yang sudah menjadi dingin di tegukan terakhir cukup bagi seorang perempuan yang menunggu seorang lelaki. Selanjutnya, aku harus tahu diri.. :)
Satu hal yang kuingin kau tahu. Kita tak pernah bisa memilih untuk jatuh cinta pada siapa dan kapan. Maafkan saya jika ini terlalu mengganggu buatmu.


yours faithfully, Vie.





Kediri - Jogja
Januari 2017