HP ku berdering. Kulihat namanya di layarku, i swipe the screen
and, "Hellooo,,". Sambil tersenyum yang sulit kugambarkan seperti apa
manisnya.
"Hello gorgeous! How you doin' today?", katanya.
"Wonderful, since i catch your name in my phone couple sec
ago", jawabku.
Kudengar dia menghela napas di seberang sana. "Kamu paling
bisa urusan bikin orang salah tingkah ya.. So, jadi kita jumpa hari ini?"
"I don't have an option in my answear list for this question,
yes dear.."
"See,,,??? I wonder who taught you this! Ok, sampai jumpa
sore nanti. Semoga aku tahan untuk tetap bisa terlihat baik saat kau membuatku
hampir gila seperti ini." Klik! Dia menutup telepon.
Aku mengenakan dress simple warna hijau, dan make up tipis dengan
pewarna bibir pink muda. Duduk di meja barisan pinggir di cafe klasik yang
memang tak pernah begitu ramai. Menunggunya.
Tak lama tiba-tiba saja dia sudah berdiri di sampingku, wangi
sekali. Aku berdiri dengan canggung, berciuman pipi dengannya. Bisa kurasakan
pipiku sedikit gatal saat menyentuh jambangnya. Aduh, laki-laki ini!
"Jadi, apa yang membuatmu tak punya pilihan jawaban lain
selain menemuiku? Sebegitu rindu kau padaku?", katanya mengolok.
"Well, kau sendiri yang mengatakan, jika sudah tak tahan,
silahkan lambaikan tangan ke kamera, bukan? Tapi kupilih melambaikan tangan
padamu dan berciuman pipi seperti tadi untuk kemudian bisa menatapmu seperti
ini."
Sukses! Mukanya memerah dan sedikit tampak kesal.
"Tak bisa kah kau tak membuatku salah tingkah seperti ini,
sebentar saja?"
Dia diam sejenak, menatapku, kemudian berkata, "Aku rindu,
sungguh rindu."
Aku tersenyum saja, menatapnya, "Aku tahu. Kau terganggu
dengan itu?"
"Kamu itu candu. Pergi ke pusat rehabilitasi pun aku tak akan
sembuh jika tak menemuimu."
Dia menghela napas, sambil meraih sebatang rokok dan
menyalakannya. Menghembus-hembuskan asapnya ke atas agar tak mengenai
wajahku. Kemudian seorang barista mendatangi kami sambil membawakan menu.
“Hot coffee latte, please”, kataku kemudian tanpa melihat ke buku
menu
“Hot tea, English Breakfast please”, katanya menyusul dan barista
itu tersenyum sambil segera meninggalkan kami.
Aku duduk bersandar memandangnya. Dia melipat kedua tangannya di
pinggir meja di hadapanku sambil menatapku. Kuayunkan sedikit daguku ke depan,
seolah bertanya “what?”, tanpa kata, menantang dengan cara yang manis. Aku tahu
dia pasti paham dan kemudian menggeleng sedikit sambil menjawab, “Entahlah. Ini
sebuah pertanyaan yang sulit. Aku tak tahu apakah memang pesonamu yang sebesar
itu, atau alam semesta ini yang terlalu lemah dan tak tahan untuk tak
terpesona.”
Aku tersenyum mendengarnya, kali ini dengan jajaran gigiku
terlihat karena mulutku yang sedikit terbuka, senang mendengarnya, namun tak
juga berkata-kata.
“Kau makan apa siang tadi?”, lanjutnya.
“Kenapa?”
“Kau begitu menyebalkan hari ini. Mungkin saja ada yang salah
dengan pilihan makan siangmu tadi.”, jawabnya kesal.
Aku tak bisa menahan tawaku yang bersuara sedikit keras namun
segera tersadar dan menutup mulutku dengan kedua tanganku. “Ups, maaf.”, kataku
sambil nyengir.
Dia meneguhkan dengan mengacungkan telapak tangan kanannya yang
terbuka di depan kami sambil berkata, “See..?”, kemudian membuang muka kesal ke
arah jendela.
Aku tak segera menanggapi. Masih juga bersandar dengan senyum
menampakkan gigi. Tanpa suara. Menikmati saja kekesalan di wajahnya. Hingga akhirnya
pesanan kami datang, kuucapkan terima kasih pada si barista yang segera berlalu
setelahnya.
“Kau tahu? Aku selalu merasa kesal jika kopiku disajikan dengan
latte art di atasnya seperti ini!”, kataku akhirnya menyudahi diamku.
“Kenapa? Bukankah itu salah satu bentuk karya seni dari sebuah
minuman yang memang sangat kau suka? Kopi!”
“Aku memang menyukai kopi. Tapi benci setengah mati jika harus
merusak latte art yang sudah dibuat dengan susah payah oleh mereka ini. Kan tak
mungkin kopi ini kuminum tanpa harus mengaduknya terlebih dulu.”
“Hmmm… Kamu bisa sentimentil juga rupanya. Yasudah, tak usah kau
aduk dan kau minum. Biarkan saja kopi itu tetap di situ dan bayangkan saja
rasanya. Selesai perkara.”, jawabnya puas mendapatkan celah untuk mengolokku
lagi.
Aku diam sejenak untuk memberinya kesempatan menikmati kemenangan.
Kemudian berkata, “Mmmm.. itu sama saja dengan menyuruhku tak memikirkanmu
sejenak saja di hari-hariku. Tak mungkin mampu aku melakukan itu.”, sambil
tersenyum tipis menatapnya. Skakmat! Aku tahu dia tak siap dengan jawabanku,
namun berusaha untuk bersikap biasa.
“Kurasa entah sarapan atau makan siangmu tadi pasti mengandung
vitamin dengan dosis tinggi sekali. Sesekali makanlah makanan rendah gizi, cerdasmu
kelewatan!”, jawabnya kembali kesal dan membuatku tertawa karenanya.
Aku menatapnya diam. Kasihan juga lama-lama padanya.
“Maafkan, aku hanya tak pandai menyampaikan apa yang kurasa dengan
cara yang baik seperti caramu menyampaikan yang kau rasa.”, kataku kemudian
Dia menatapku dan menghela napas. Masih bisa kulihat rindu yang
disampaikannya di awal perjumpaan tadi di antara sisa kekesalan pada apa yang
sejak tadi kulakukan. Kami saling tatap dalam diam. Dan ternyata aku tak mampu
melakukannya lebih lama. Kuambil sesendok kecil gula dan mengaduknya rata dalam
cangkir keramik berwarna merah menyala yang sejak tadi kudiamkan saja. Meminum kopiku
dan membuang pandangan jauh ke luar jendela.
“What if…”, kata-katanya menggantung. Aku kembali memandangnya,
menantinya menyelesaikan kalimat.
“You can never see me again?”
Aku hampir tersedak mendengar lanjutan kalimatnya. “Why?”
“I ask you first, and ‘why’ is not an aswear but a question dear,
please..”
Aku kebingungan dan hampir tak menemukan jawabannya. “Well, there
must be a good reason if it’s happened. And so far I didn’t see any good reason
to stop seeing you, why can’t I see you then?, kataku akhirnya.
Dia terdiam sejenak dan melajutkan berkata, “I’m leaving abroad,
soon..”
Aku terhenyak ke sandaran kursiku. Banyak hal berkecamuk di
kepalaku saat ini. “Ya..? What for?”
“I got a new assignment, they have to put me in our new office in
London.”, jawabnya sambil terus memandangku dengan mata sayu.
“Wow, congratulation! It’s a good news, right?”, jawabku mencoba
menutupi keterkejutan yang kuyakin gagal setelah mendengar perkataannya
kemudian, “Is it?”
Aku terdiam, kembali dibuatnya bingung dengan pertanyaan.
“For how long you’ll stay there?
“So long, dear. So long that I can’t tell you until when.”
“Well, ummm…”, aku kehabisan kata-kata. “You still can visit me
sometime, or maybe I can go there to visit you someday.”, sambil mendekatkan
tubuhku ke arah meja, ke arahnya. Kami berbicara cukup dekat sekarang tak lagi
bersandar. Sama-sama melipat tangan di atas meja yang hanya berukuran 60 x 60 centimeter.
Dia tersenyum yang dipaksakan dan berkata, “Ya, walau tak semudah
mengatakannya”. Flat.
Aku diam. Dia pun diam. Aku menunduk memainkan jemariku. Dia memandang
jauh ke luar jendela entah ke arah mana. Kupandangi latte ku yang mulai dingin
dan tak lagi ada bentuk hati di atasnya. Rusak terkoyak sesendok gula yang
kuaduk ke dalamnya. Ada rasa menyesal di dada. Mestinya aku tak perlu lagi
menambahkan gula untuk secangkir kopi yang memang sudah enak rasanya. Kuingat kau pernah berkata, bahwa kadang untuk beberapa hal yang memang diciptakan dengan rasa pahit
sebaiknya biarkan tetap pahit, karena menambahkan pemanis pasti akan mengurangi
nikmatnya. Sesekali kita harus belajar menerima kenyataan. Menerimanya saja dan
menikmati pahitnya. Tak perlu melakukan perlawanan. Untuk beberapa hal, melawan
hanya akan membuat kita lebih terpuruk dan itu pasti menyakitkan.
Hari ini, kita dihadapkan pada sebuah keadaan yang tak mungkin
kita lawan. Perpisahan memang tak pernah menyenangkan. Aku sengaja mengambil
cuti agar bisa mengantarmu. Inginnya sampai depan pintu garbarata. Namun sampai
pintu masuk bandara pun tak apa lah. Bahkan keinginan-keinginan yang ada harus rela
dikalahkan dengan keadaan dan kita hanya bisa menerima saja. Kau genggam
tanganku dan memandangku saja dalam diam. Hampir satu menit lamanya.
“Promise me one thing.”, katanya.
“What?”
“Send me picture, voice note, text and anything about you. Just as
often as possible. Please …”
Aku tersenyum mendengarnya. “What if I refuse to do that?”,
jawabku dengan senyum menggodanya.
“How could you do that? Even in this wee little time you still try
to harassed me?”
“Nooo.. don’t get me wrong. It’s just my way to ask, will you miss
me that much?”
“What makes you think I won’t?”, jawabnya sedikit bersungut.
Aku tersenyum tenang memandangnya. Sambil menggeleng dan berkata, “I
know exactly you will. It’s just … I have no idea until when will you have that
feeling for me. And what if you don’t miss me anymore?”
Dia tak menjawab namun segera memelukku. Erat sekali. Tak pernah
kami berpelukan seperti ini. Biasanya hanya bercium pipi saja saat bertemu dan
berpisah.
“Please, don’t ever think like that. It really broke my heart.”,
bisiknya padaku.
Aku menghela napas, sambil mengelus punggungnya dan berkata, “Mmmhhh..
I’m so sorry. I’m just trying to be realistic, darling. Never have in mind to
break your heart. Never.”
Dia melepaskan pelukannya. “So, please say yes.”, katanya sambil
memandangku.
“I will, sir!”, jawabku dengan sikap hormat kepada seorang
komandan.
Dia tersenyum bahagia. “See you when I see you, gorgeous!”, sambil
mencium pipi kiriku kemudian mencubit kecil ujung hidungku.
“See you when you see me, bad boy!”, jawabku tersenyum.
Dia melangkah masuk ke dalam bandara setelah memperlihatkan boarding
pass yang sudah dicetak beberapa jam sebelumnya. Menengok sekali kepadaku dan
melambaikan tangannya serta memberi kecupan jauh dari bibirnya. Ada rasa
kehilangan yang tiba-tiba mengalir deras di dada. Senyumku memudar perlahan
dengan kedatangannya. Seperti terlempar jauh ke ruang hampa udara yang tak
kuketahui jalan keluarnya.
HP ku berdering, kulihat namamu di sana.
“Miss me already?”, jawabku ceria penuh semangat seperti orang yang
baru kesulitan bernapas dan mendapatkan oksigen yang berlimpah banyaknya.
“I do …”, jawabnya dengan nada penuh duka.
“What if, I give you my smile, are you gonna stay for a while?”,
kunyanyikan lirik lagu milik Mocca, mencoba menghiburnya.
“I’ll stay forever!”
Jogja, February 14th 2016
love, vie