Selasa, 24 Januari 2017

Chapter I

THE UNIVERSE CONSPIRES AGAINST ME

Kulihat dia mengemasi alat musiknya. Sebuah benda bersenar gesek yang sangat disayanginya. Tak seperti hari sebelumnya. Tak ada keceriaan di wajahnya malam ini, hanya dia berusaha tak menampakkannya.  Dia menghampiriku dan mengambil posisi duduk di kursi samping dari meja kami yang bujursangkar, bukan di depanku seperti biasanya.

“Kamu sudah makan?”, tanyanya.

“Sudah dong..”, jawabku penuh senyum memandangnya

“Ok, kita jalan sebentar lagi ya, aku pamit sebentar sama anak-anak.” 
Yang kujawab dengan anggukan  dan senyum yang belum berkurang. Kuperhatikan saja dia dari meja kami. Mengobrol dengan kawan-kawan bandnya yang selalu saja menggodanya dengan banyak hal. Tapi begitulah dia, tak pernah bisa marah pada mereka yang sangat sayang dan disayanginya sejak lama. Kulihat mereka tertawa begitu lepas dan bahagia.

Tak sampai lima menit dia kembali dan mengajakku pergi. "Aku pulang yaa, sampai jumpa.", kataku dari jauh pada teman-temannya yang dibalas dengan lambaian tangan ramah mereka.

Di mobil dia menyetir saja dan tak lagi banyak bicara seperti siang tadi.
"Are you ok?"

"Iya, kenapa?", jawabnya sambil membetulkan kacamata

"Tak apa, hanya kurasa kau lebih banyak diam malam ini, tak seperti siang tadi. Lelah kah?"

"Enggak...", jawabnya sambil senyum melihatku sebentar dan mengusap tangan kananku. "Keretamu jam 23 kan? Kita ngobrol di coffeeshop stasiun saja ya, supaya tak buru-buru." Dan aku hanya mengangguk penuh setuju dengan senyum di bibirku.

Setelah mencetak boarding pass, aku menyusulnya di coffeeshop kecil di bagian depan stasiun ini. Mendekatkan kursi dan duduk di sampingnya.

"Kenapa senyummu?", tanyaku.

"Kenapa senyumku?", dia balik bertanya.

"Tak apa, tapi kuhitung tak sebanyak kemarin dan siang tadi. Aku khawatir kau lupa membawanya malam ini.", jawabku tersenyum padanya.

Tak ada jawaban dan wajahnya kini jadi memuram. Dia memandangku diam, diam dan penuh kesedihan.
"Hei, kau kenapa? Ada yang salah dari yang kukatakan?", tanyaku kemudian.

Dia membuang napas berat dan akhirnya berkata, "Tak apa, hanya tetiba berat rasanya."

Aku menaikkan alis menunggu lanjutan kalimatnya. "Ya, entah kenapa tetiba seperti ini rasaku. Seperti tak yakin kapan lagi bisa menemuimu. Hmm.. Ah, ini salahku, tak seharusnya merasa seperti ini, bukan?", mengakhiri kalimatnya dengan kalimat tanya.

"Hmm.. Kau kenapa? Kau ingin aku tinggal lebih lama? Kau tahu kan, aku harus kembali ke sana?", jawabku tetap dengan senyum walau tak semanis sebelumnya.

"Ya, aku tahu. Maka kataku tak seharusnya aku merasa begitu. Hanya saja...", tak dilanjutkan kalimatnya dan membuang muka ke arah lain.

Kucari wajahnya, menariknya ke arahku dan berkata, "Sayang, cemburu kah yang kulihat di matamu itu?". Kupandang dalam matanya, dia terdiam saja, ada sedih yang menggenang di sana. “Seingatku baru kemarin kau katakan kita harus sadar dengan kondisi kita bukan? Dan setengah mati aku menipiskan rasa yang ada sebelumnya, bahkan sempat berpikir untuk menyudahinya. Karena tak baik rasanya menyakiti hati sendiri. Lalu sekarang kau bersikap begini.”, lanjutku pelan dan penuh kehati-hatian. Sungguh tak ingin menyakiti laki-laki yang begitu kusayangi.

Dia mengeluarkan sebatang rokok milikku dan mulai menyalakannya. Menghembuskan asap yang berat dan mulai berkata, “Aku orang yang sangat realistis, kau tahu itu. Maka kukatakan hal itu siang lalu, hanya mencoba tetap menjaga kesadaran kita pada euphoria yang ada di depan mata. Tapi ini apa, aku bahkan tak dapat mengenali perasaanku sendiri. Ya, ini salahku memang, laki-laki tak seharusnya begini.”

“Aku mengajakmu bicara begini bukan untuk mencari siapa yang salah. Please, kita sudah sama-sama dewasa. Tak pantas rasanya berbicara hanya untuk mencari-cari salah siapa. Coba katakan padaku, seperti apa rasamu. Kecuali kau memang tak ingin aku tahu.”

Dia memandang dalam ke mataku, ada sayang yang dirundung sedih di sana, “I love you.”, sambil menggenggam tanganku kemudian menunduk tanpa melepaskannya.

Aku diam, tak tahu harus berkata apa. Mungkin begitu pun dia. Tetiba sesak rasa dada ini. Dinginnya udara seperti tak lagi ada artinya saat kudengar kata-katanya. Ada yang hancur lebih dalam lagi ketika mata kami beradu. Sayang yang begitu sulit digambarkan. Rindu yang entah bagaimana harus diselesaikan.

“Sayangku..”, kusentuh lembut pipi kirinya dengan tangan kananku. Dia memberiku senyum yang jika kau lihat kau akan tahu betapa dia tak ingin aku merasakan sakitnya.

“Apa menurutmu ini begitu mudah bagiku? Jika kau melihatku baik-baik saja dan tampak bahagia nantinya di sana, percayalah aku orang yang pantas mendapatkan piala Oscar setelah Marlon Brando dan Alpacino. Bahwa yang kau rasa sudah lebih dulu kupunya. Bahwa kisah kita tak mungkin kubagi dan aku harus menguatkan hati menyimpannya sendiri.”, lanjutku.

“Baru kemarin kau katakan padaku bahwa kita harus bahagia. Aku bahkan sempat percaya bahwa kau memang tak memiliki rasa yang kurasa. Sempat berpikir untuk menghapusnya saja supaya bisa merasakan bahagia yang kau sebutkan. Karena aku selalu siap menghadapi apa pun, hanya tak punya cukup waktu untuk rasa sakitnya.”

Dia diam saja mendengarkanku berbicara. Ada genangan tipis di sudut mataku yang kutahan sebisa mungkin agar tak mengajak kawan-kawannya. Tapi kemudian naluri laki-lakinya terbangunkan. Dibangunkannya tubuhku dan dipeluknya erat sekali. Sambil berkata di samping kepala, “Kau tahu kunci dari bahagia? Sungguh hanya sesimpel memiliki kesehatan yang baik dan ingatan yang buruk. Tapi kau, kau adalah satu-satunya hal di ingatanku yang aku tak pernah ingin lupa. Dan aku sungguh rela merasakan setengah bahagia saja.”

Tetiba dia menyanyikan Glow milik Frau, suaranya yang merdu mengalun lirih di telingaku, sambil memeluk dan mengayun tubuhku pelan sekali.

Hold me, you shall never ever see me
Blankets will not hesitate me
Flowers shant even wake
Kiss me, this the last time you may see me
This the last time light shall harm me
I shall cry myself to death
Funny, how you never showed your love to me
Lovely, oh the lights I can see
It’s gleaming in my eyes like when you
Burned me, tear my skin off and leave me
This the last time you may hold me
This the last time I shall say good bye

Aku menangis begitu saja di peluknya. Luruh sudah semua ketegaran yang kupunya. The universe conspires against me.


Jogja, 24 Januari 2017




catatan kaki:
lirik lagu Glow by Frau
pict by Google


Sabtu, 14 Januari 2017

Surat

Pernah pada suatu sore yang mendung, di sebuah kedai kopi sederhana yang hanya memiliki kopi enak saja, di sudut sebelah bar dekat jendela yang menyambut angin dengan penuh keramahan, seorang perempuan duduk sendirian. Dia nampak begitu murung dengan pena di tangan kanan dan sebuah kertas berisi tulisan tangannya sendiri. Sesekali berhenti menulis, memandang ke luar jendela yang sedikit terhalang oleh tanaman dalam pot yang tingginya setara dengan orang duduk, memejamkan mata sebentar dan menarik napas panjang, kemudian kembali menulis. Cukup sering dia melakukannya. Kadang menyibak rambutnya yang turun sedemikian rupa menutup wajahnya yang menunduk saat menulis. Entah apa yang dirasakannya. Entah kesedihan macam apa yang sedang menimpa hatinya. Sempat beberapa saat matanya berair, namun segera dilepasnya kacamatanya dan menempatkan dua jari di tengah-tengah antara kedua matanya dan memijit-mijitnya, seperti berharap yang dia lakukan dapat mencegah air matanya terjatuh dan cukup menyamarkannya.
 

Dia meminum coffee latte dari cangkirnya dengan gerakan yang begitu pelan seakan tak ingin kopinya segera habis. Lalu menggenggam cangkir kopi berwarna merah itu dengan kedua tangannya di atas meja, seperti mencari sesuatu yang dapat menghangatkannya. Apa yang membuatnya begitu dingin? Diraihnya HP dari dalam tas kecil berwarna biru yang diletakkan di pinggiran meja. Membuka semua aplikasi chat yang ada di dalamnya, seperti berharap ada pesan masuk dari seseorang entah siapa namun tak juga menemukannya. Dia meraih sebuah earplug dari dalam tasnya, memasangnya ke HP dan telinganya lalu mencari playlist dari sebuah aplikasi musik.
 

Dia berhenti menulis, diletakkannya pena di atas kertasnya begitu saja, hanya supaya angin tak menerbangkannya. Mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam tas dan menyalakan sebatang. Menghisap rokoknya dengan pelan dan dalam, mengotori paru-parunya dengan asap dan kemudian menghembuskannya hinga membentuk sebaris asap panjang yang terpecah oleh angin di ujung jendela. Sekarang yang dilakukannya hanya diam memandang ke luar jendela dengan sebatang rokok terselip di atara telunjuk dan jari tengah tangan kanannya. Melipat tangan kirinya untuk menyagga siku kanan dan memejamkan mata begitu saja mencoba menikmati sang waktu dengan playlistnya. 

Hal ini berlangsung cukup lama, hingga saat rokoknya tinggal sepertiga batang dia mematikannya dan meraih lagi penanya. Mulai menuliskan lagi sesuatu yang cukup panjang di kertasnya. Setelah selesai dia melipatnya, memasukkan ke dalam amplop dan segera mengemasi barang-barangnya. Menyelesaikan kopinya yang sudah dingin dan beranjak ke bar menghampiriku.
 

Dia menyerahkan selembar uang seratus ribu padaku sambil berkata, "Mbak, apa saya bisa menitipkan sesuatu di sini?
 

"Boleh mbak, asal bukan bom isinya, hehe..", jawabku mencoba menghadirkan senyum di wajahnya yang lebih murung sekarang
 

Dan dia pun tersenyum, sebuah senyum yang sangat dipaksakan hanya demi menghargai usahaku, "Enggaklah, mbak. Saya cuma mau nitip surat ini saja. Tolong berikan pada seorang laki-laki. Tingginya sekitar 174 cm, kurus, berambut ikal sebahu. Dia berjanji akan menemui saya di sini, tapi saya rasa durasi menghabiskan secangkir kopi panas yang sudah menjadi dingin di tegukan terakhir cukup bagi seorang perempuan yang menunggu. Sebaiknya tak lebih dari itu." Sambil tersenyum yang hampir tak tampak seperti senyum, kesedihan yang terkulum.
 

"Tapi mbak, maaf, bagaimana caranya saya bisa tahu laki-laki yang mbak maksud? Sedangkan melihatnya pun saya belum pernah.", jawabku ragu.
 

"Mbak akan menemukannya. Dia laki-laki dengan susunan gigi yang sangat rapi dan senyumnya begitu manis. Memakai kacamata minus dan matanya pun teduh. Dia biasa memakai wewangian citrus aqua. Saya yakin mbak akan dengan mudah mengenalinya. "Kali ini ada sirat binar di matanya saat memberikan penjelasan tentang detail si laki-laki.
 

"Ngggg.. Tapi mbak, bagaimana kalau nanti saya salah orang?"
 

"Saya percaya pembuat kopi enak secanggih mbak tak akan meleset dalam hal detail. Tak mungkin salah. Please mbak, waktu saya tak banyak. Tolong saya ya..?"
 

Bagaimana aku bisa tega berkata tidak, sedangkan sejak duduk tadi wajahnya sudah penuh gelisah yang berakhir dengan kecewa. "Yasudah mbak, saya lakukan semampu saya ya, doakan saya tak salah orang mbak, hehe" Kubuka laci dan mengambil uang kembalian untuknya, tapi saat akan memberikannya dia sudah sampai di bibir pintu dan dengan agak terburu-buru mengatakan, "Oya, dia bukan peminum kopi, biasanya dia akan memesan teh panas." kemudian segera menghambur di kerumunan orang yang berjalan kaki. Aku sempat memanggilnya beberapa kali yang kuyakin dia mendengarnya, namun seperti sengaja segera menjauh.
 

Hari ini hampir genap satu bulan dan aku belum juga menemukan laki-laki yang dimaksud perempuan itu. Atau jangan-jangan aku melewatkannya? Oh, kuharap tidak, karena ini amanat. Bagaimana jika isi surat itu begitu penting untuk disampaikan bagi perempuan itu?
Hingga sore ini, ketika matahari sudah teduh, dan angin pun berhembus begitu pelan penuh kehati-hatian. Seorang lelaki datang, melihat sekeliling sebentar untuk memilih tempat duduk dan akhirnya duduk di meja dekat jendela yang diduduki perempuan itu dulu.


Kudatangi dia untuk menyerahkan menu dan mencatat pesanannya. Diterimanya buku menu dariku sambil tersenyum, manis sekali. Dan saat itulah, angin yang berhembus pelan menyampaikan padaku wangi perpaduan citrus aqua yang kuyakin dari laki-laki ini. Maka ingatanku tertuju pada sebuah surat dari seorang perempuan yang sudah hampir sebulan kusimpan saja di dalam lokerku. Segera kuperhatikan laki-laki yang sedang membaca buku menu di depanku dengan lebih seksama. Rambutnya ikal sebahu, tinggi sekitar 174 cm, memakai kacamata minus dan memakai wewangian beraroma citrus aqua. Kemudian saat dia menyebutkan pesanannya dan mengatakan terima kasih, barulah terlihat olehku susunan giginya yang rapi menyempurnakan senyumnya dan dia memesan teh hitam panas.
 

Aku segera berlari ke belakang bar dan membuatkan secangkir teh panas pesanannya. Lalu mengambil sepucuk surat di loker dan memasukkannya ke kantong di bagian depan apronku. Mengantarkan teh ke mejanya dan memberanikan diri bicara padanya.
 

"Mmmm.. Maaf mas, saya boleh mengganggu sebentar?"
 

"Ada apa, mbak?"
 

Aku mengambil kursi di sebelahnya dan mulai bicara. "Sekitar hampir sebulan lalu, ada seorang perempuan yang duduk minum kopi sendirian di sini." Dia mulai sadar bahwa yang akan kubicarakan adalah sesuatu yang sedikit serius. "Cukup lama dia duduk di sini menanti seseorang sambil menulis. Walau akhirnya orang yang ditunggunya tak kunjung datang dan dia memutuskan menitipkan sebuah surat kepada saya untuk saya sampaikan pada orang yang telah dinanti-nantinya itu."
 

Dia terdiam, nampak berpikir. Aku melanjutkan, "Mmm.. Maaf sebelumnya mas, tapi dari ciri-ciri yang dia sebutkan pada saya, saya rasa orang yang dia maksud adalah mas. Saya sedikit bingung karena dia tidak menyebutkan nama orang yang dimaksud. Nggg.. Kalau boleh tahu, apakah mas pernah membuat janji dengan seorang perempaun di tempat ini sekitar sebulan lalu dan mas tak bisa datang karena sesuatu hal?"
 

Dia terdiam lagi, mencoba mengingat sesuatu lalu bertanya, "Seperti apa perempuan itu?"
 

"Dia berambut lurus dan panjang. Tingginya saya yakin lebih dari 165 cm namun tak lebih dari 170 cm. Sore itu dia memakai skinny jeans hitam berpadu dengan kemeja warna putih serta flatshoes warna biru. Dan kalau hidung saya tak salah, dia memakai wewangian beraroma shea."
 

Lelaki itu terdiam lagi dan sedikit menunduk agak lama, lalu kusadarkan dia, "Nggg mas...!" Dia sedikit tergagap lalu mengeluarkan HP dari sakunya dan mencoba mencari-cari sesuatu di sana untuk beberapa lama dan mengatakan, "Apakah perempuan ini yang sore itu kemari, mbak?" sambil memperlihatkan foto seorang perempuan manis berambut panjang dari sebuah akun instagram.

"Jadi betul mas laki-laki yang dia tunggu-tunggu sore itu?", jawabku singkat sambil mengeluarkan sepucuk surat dari dalam kantong apronku dan berkata datar, "Seandainya mas datang saat itu, mungkin wajahnya akan tetap secantik foto di instagram tadi saat ini. Saya hanya melihat kecewa yang terlalu dalam sore itu." kemudian meninggalkannya dengan sepucuk surat itu.
 

Aku berusaha menyibukkan diri di balik meja bar. Hanya sesekali melihat ke arahnya sekilas. Kulihat dia membuka amplop perlahan dan mulai membaca.

Surat


Prada, January 11th 2017
 

Dear, You..
 

Kau tahu terbuat dari apakah rindu?
Wangi secangkir kopi dan sejurus pandangan mata yang jatuh tak jauh dari layar telepon genggam yang masih saja diam tak menyampaikan kabar..
 

Kau tahu, sejak awal pun aku sadar betul bahwa kita tak mungkin melangkah lebih jauh lagi bersama. Tapi apakah sesulit itu bagimu untuk sebentar saja meletakkan ego dan menahan kata-kata yang tak perlu kau ucapkan pun aku sudah tahu? Apa aku meminta terlalu banyak darimu? Kurasa kita sudah sama-sama dewasa dan bisa lebih bijak menghadapinya.
 

Aku menunggumu, selalu begitu bukan? Tapi menghabiskan secangkir kopi panas yang sudah menjadi dingin di tegukan terakhir cukup bagi seorang perempuan yang menunggu seorang lelaki. Selanjutnya, aku harus tahu diri.. :)
Satu hal yang kuingin kau tahu. Kita tak pernah bisa memilih untuk jatuh cinta pada siapa dan kapan. Maafkan saya jika ini terlalu mengganggu buatmu.


yours faithfully, Vie.





Kediri - Jogja
Januari 2017