Selasa, 14 Februari 2017

What If

HP ku berdering. Kulihat namanya di layarku, i swipe the screen and, "Hellooo,,". Sambil tersenyum yang sulit kugambarkan seperti apa manisnya.

"Hello gorgeous! How you doin' today?", katanya.

"Wonderful, since i catch your name in my phone couple sec ago", jawabku.

Kudengar dia menghela napas di seberang sana. "Kamu paling bisa urusan bikin orang salah tingkah ya.. So, jadi kita jumpa hari ini?"
"I don't have an option in my answear list for this question, yes dear.."

"See,,,??? I wonder who taught you this! Ok, sampai jumpa sore nanti. Semoga aku tahan untuk tetap bisa terlihat baik saat kau membuatku hampir gila seperti ini." Klik! Dia menutup telepon.

Aku mengenakan dress simple warna hijau, dan make up tipis dengan pewarna bibir pink muda. Duduk di meja barisan pinggir di cafe klasik yang memang tak pernah begitu ramai. Menunggunya.

Tak lama tiba-tiba saja dia sudah berdiri di sampingku, wangi sekali. Aku berdiri dengan canggung, berciuman pipi dengannya. Bisa kurasakan pipiku sedikit gatal saat menyentuh jambangnya. Aduh, laki-laki ini!
"Jadi, apa yang membuatmu tak punya pilihan jawaban lain selain menemuiku? Sebegitu rindu kau padaku?", katanya mengolok.

"Well, kau sendiri yang mengatakan, jika sudah tak tahan, silahkan lambaikan tangan ke kamera, bukan? Tapi kupilih melambaikan tangan padamu dan berciuman pipi seperti tadi untuk kemudian bisa menatapmu seperti ini."

Sukses! Mukanya memerah dan sedikit tampak kesal.

"Tak bisa kah kau tak membuatku salah tingkah seperti ini, sebentar saja?"

Dia diam sejenak, menatapku, kemudian berkata, "Aku rindu, sungguh rindu."

Aku tersenyum saja, menatapnya, "Aku tahu. Kau terganggu dengan itu?"

"Kamu itu candu. Pergi ke pusat rehabilitasi pun aku tak akan sembuh jika tak menemuimu."

Dia menghela napas, sambil meraih sebatang rokok dan menyalakannya. Menghembus-hembuskan asapnya ke atas agar tak mengenai wajahku. Kemudian seorang barista mendatangi kami sambil membawakan menu.

“Hot coffee latte, please”, kataku kemudian tanpa melihat ke buku menu
“Hot tea, English Breakfast please”, katanya menyusul dan barista itu tersenyum sambil segera meninggalkan kami.

Aku duduk bersandar memandangnya. Dia melipat kedua tangannya di pinggir meja di hadapanku sambil menatapku. Kuayunkan sedikit daguku ke depan, seolah bertanya “what?”, tanpa kata, menantang dengan cara yang manis. Aku tahu dia pasti paham dan kemudian menggeleng sedikit sambil menjawab, “Entahlah. Ini sebuah pertanyaan yang sulit. Aku tak tahu apakah memang pesonamu yang sebesar itu, atau alam semesta ini yang terlalu lemah dan tak tahan untuk tak terpesona.”

Aku tersenyum mendengarnya, kali ini dengan jajaran gigiku terlihat karena mulutku yang sedikit terbuka, senang mendengarnya, namun tak juga berkata-kata.

“Kau makan apa siang tadi?”, lanjutnya.
“Kenapa?”
“Kau begitu menyebalkan hari ini. Mungkin saja ada yang salah dengan pilihan makan siangmu tadi.”, jawabnya kesal.

Aku tak bisa menahan tawaku yang bersuara sedikit keras namun segera tersadar dan menutup mulutku dengan kedua tanganku. “Ups, maaf.”, kataku sambil nyengir.

Dia meneguhkan dengan mengacungkan telapak tangan kanannya yang terbuka di depan kami sambil berkata, “See..?”, kemudian membuang muka kesal ke arah jendela.

Aku tak segera menanggapi. Masih juga bersandar dengan senyum menampakkan gigi. Tanpa suara. Menikmati saja kekesalan di wajahnya. Hingga akhirnya pesanan kami datang, kuucapkan terima kasih pada si barista yang segera berlalu setelahnya.

“Kau tahu? Aku selalu merasa kesal jika kopiku disajikan dengan latte art di atasnya seperti ini!”, kataku akhirnya menyudahi diamku.

“Kenapa? Bukankah itu salah satu bentuk karya seni dari sebuah minuman yang memang sangat kau suka? Kopi!”

“Aku memang menyukai kopi. Tapi benci setengah mati jika harus merusak latte art yang sudah dibuat dengan susah payah oleh mereka ini. Kan tak mungkin kopi ini kuminum tanpa harus mengaduknya terlebih dulu.”

“Hmmm… Kamu bisa sentimentil juga rupanya. Yasudah, tak usah kau aduk dan kau minum. Biarkan saja kopi itu tetap di situ dan bayangkan saja rasanya. Selesai perkara.”, jawabnya puas mendapatkan celah untuk mengolokku lagi.

Aku diam sejenak untuk memberinya kesempatan menikmati kemenangan. Kemudian berkata, “Mmmm.. itu sama saja dengan menyuruhku tak memikirkanmu sejenak saja di hari-hariku. Tak mungkin mampu aku melakukan itu.”, sambil tersenyum tipis menatapnya. Skakmat! Aku tahu dia tak siap dengan jawabanku, namun berusaha untuk bersikap biasa.

“Kurasa entah sarapan atau makan siangmu tadi pasti mengandung vitamin dengan dosis tinggi sekali. Sesekali makanlah makanan rendah gizi, cerdasmu kelewatan!”, jawabnya kembali kesal dan membuatku tertawa karenanya.

Aku menatapnya diam. Kasihan juga lama-lama padanya.

“Maafkan, aku hanya tak pandai menyampaikan apa yang kurasa dengan cara yang baik seperti caramu menyampaikan yang kau rasa.”, kataku kemudian

Dia menatapku dan menghela napas. Masih bisa kulihat rindu yang disampaikannya di awal perjumpaan tadi di antara sisa kekesalan pada apa yang sejak tadi kulakukan. Kami saling tatap dalam diam. Dan ternyata aku tak mampu melakukannya lebih lama. Kuambil sesendok kecil gula dan mengaduknya rata dalam cangkir keramik berwarna merah menyala yang sejak tadi kudiamkan saja. Meminum kopiku dan membuang pandangan jauh ke luar jendela.

“What if…”, kata-katanya menggantung. Aku kembali memandangnya, menantinya menyelesaikan kalimat.

“You can never see me again?”

Aku hampir tersedak mendengar lanjutan kalimatnya. “Why?”

“I ask you first, and ‘why’ is not an aswear but a question dear, please..”

Aku kebingungan dan hampir tak menemukan jawabannya. “Well, there must be a good reason if it’s happened. And so far I didn’t see any good reason to stop seeing you, why can’t I see you then?, kataku akhirnya.

Dia terdiam sejenak dan melajutkan berkata, “I’m leaving abroad, soon..”

Aku terhenyak ke sandaran kursiku. Banyak hal berkecamuk di kepalaku saat ini. “Ya..? What for?”

“I got a new assignment, they have to put me in our new office in London.”, jawabnya sambil terus memandangku dengan mata sayu.

“Wow, congratulation! It’s a good news, right?”, jawabku mencoba menutupi keterkejutan yang kuyakin gagal setelah mendengar perkataannya kemudian, “Is it?”

Aku terdiam, kembali dibuatnya bingung dengan pertanyaan.

“For how long you’ll stay there?

“So long, dear. So long that I can’t tell you until when.”

“Well, ummm…”, aku kehabisan kata-kata. “You still can visit me sometime, or maybe I can go there to visit you someday.”, sambil mendekatkan tubuhku ke arah meja, ke arahnya. Kami berbicara cukup dekat sekarang tak lagi bersandar. Sama-sama melipat tangan di atas meja yang hanya berukuran 60 x 60 centimeter.

Dia tersenyum yang dipaksakan dan berkata, “Ya, walau tak semudah mengatakannya”. Flat.

Aku diam. Dia pun diam. Aku menunduk memainkan jemariku. Dia memandang jauh ke luar jendela entah ke arah mana. Kupandangi latte ku yang mulai dingin dan tak lagi ada bentuk hati di atasnya. Rusak terkoyak sesendok gula yang kuaduk ke dalamnya. Ada rasa menyesal di dada. Mestinya aku tak perlu lagi menambahkan gula untuk secangkir kopi yang memang sudah enak rasanya. Kuingat kau pernah berkata, bahwa kadang untuk beberapa hal yang memang diciptakan dengan rasa pahit sebaiknya biarkan tetap pahit, karena menambahkan pemanis pasti akan mengurangi nikmatnya. Sesekali kita harus belajar menerima kenyataan. Menerimanya saja dan menikmati pahitnya. Tak perlu melakukan perlawanan. Untuk beberapa hal, melawan hanya akan membuat kita lebih terpuruk dan itu pasti menyakitkan.

Hari ini, kita dihadapkan pada sebuah keadaan yang tak mungkin kita lawan. Perpisahan memang tak pernah menyenangkan. Aku sengaja mengambil cuti agar bisa mengantarmu. Inginnya sampai depan pintu garbarata. Namun sampai pintu masuk bandara pun tak apa lah. Bahkan keinginan-keinginan yang ada harus rela dikalahkan dengan keadaan dan kita hanya bisa menerima saja. Kau genggam tanganku dan memandangku saja dalam diam. Hampir satu menit lamanya.

“Promise me one thing.”, katanya.

“What?”

“Send me picture, voice note, text and anything about you. Just as often as possible. Please …”

Aku tersenyum mendengarnya. “What if I refuse to do that?”, jawabku dengan senyum menggodanya.

“How could you do that? Even in this wee little time you still try to harassed me?”

“Nooo.. don’t get me wrong. It’s just my way to ask, will you miss me that much?”

“What makes you think I won’t?”, jawabnya sedikit bersungut.

Aku tersenyum tenang memandangnya. Sambil menggeleng dan berkata, “I know exactly you will. It’s just … I have no idea until when will you have that feeling for me. And what if you don’t miss me anymore?”

Dia tak menjawab namun segera memelukku. Erat sekali. Tak pernah kami berpelukan seperti ini. Biasanya hanya bercium pipi saja saat bertemu dan berpisah.

“Please, don’t ever think like that. It really broke my heart.”, bisiknya padaku.

Aku menghela napas, sambil mengelus punggungnya dan berkata, “Mmmhhh.. I’m so sorry. I’m just trying to be realistic, darling. Never have in mind to break your heart. Never.”

Dia melepaskan pelukannya. “So, please say yes.”, katanya sambil memandangku.

“I will, sir!”, jawabku dengan sikap hormat kepada seorang komandan.

Dia tersenyum bahagia. “See you when I see you, gorgeous!”, sambil mencium pipi kiriku kemudian mencubit kecil ujung hidungku.

“See you when you see me, bad boy!”, jawabku tersenyum.

Dia melangkah masuk ke dalam bandara setelah memperlihatkan boarding pass yang sudah dicetak beberapa jam sebelumnya. Menengok sekali kepadaku dan melambaikan tangannya serta memberi kecupan jauh dari bibirnya. Ada rasa kehilangan yang tiba-tiba mengalir deras di dada. Senyumku memudar perlahan dengan kedatangannya. Seperti terlempar jauh ke ruang hampa udara yang tak kuketahui jalan keluarnya.

HP ku berdering, kulihat namamu di sana.

“Miss me already?”, jawabku ceria penuh semangat seperti orang yang baru kesulitan bernapas dan mendapatkan oksigen yang berlimpah banyaknya.

“I do …”, jawabnya dengan nada penuh duka.

“What if, I give you my smile, are you gonna stay for a while?”, kunyanyikan lirik lagu milik Mocca, mencoba menghiburnya.


“I’ll stay forever!”




Jogja, February 14th 2016
love, vie             

        

Sabtu, 04 Februari 2017

Jatuh Cintaku Yang Tak Kau Tahu, Atau Kau Yang Memang Tak Mau Tahu

Demi binar itu, aku rela menelan saja lanjutan kata yang sudah ada di ujung lidah
Menunggumu menyelesaikan senyum
Dan menanti kejap di matamu yang bintang mana pun tak sanggup menandingi
Hampir saja kulupa cara bernapas karenanya

Menyimakmu berbicara seperti hujan yang berderai pelan dengan jeda ritmis sesorean
Membaur sempurna dengan wangi tanah yang basah
Yang memaksa banyak makhluk untuk berhenti ber-apa saja dan pasrah menikmatinya
Bahkan terlalu sayang rasanya melewatkan satu kata saja dari cara bicaramu yang begitu mempesona

Demi helai rambut yang jatuh di wajahmu saat kumenatapmu
Aku rela menunda meminum teh yang sudah kugenggam cangkirnya
Menantimu menyibakkan rambut ke belakang kepala
Dan melihat mereka kembali jatuh tak beraturan begitu saja yang entah bagaimana tak juga membuatmu kesal karenanya

Mendengar gesekan nada dari biola yang kau alunkan di sesela kebersamaan kita
Seperti mengingat lagi sebuah masa yang sudah terlalu sulit kumengingatnya
Saat sepasang telinga yang tanpa sengaja mendengarnya, tak dapat melawan keinginan mata untuk memejam, dan tenggelam begitu khusyuknya
Bahkan senyum bahagia yang lama tak kujumpa hadir begitu saja tanpa harus kuminta

Tahukah kau, hampir setiap napas yang kuhela
Setiap kedipan kedua mata yang membuatku tetap terjaga
Bahkan setiap desir yang terjadi di dalam dada
Tak pernah sebegitu menyiksa di malam-malamku sebelumnya

Tapi aku begitu rela menjalaninya
Menjaga rasa yang ada tetap utuh di dalam sana
Merindukanmu hampir di setiap detik yang tega berlalu tanpa memberiku waktu sebentar saja untuk tak mengingatmu

Jatuh cintaku yang tak kau tahu, atau kau yang memang tak mau tahu?