Suatu hari, pernah kami berbincang. Selepas maghrib di ruang
tamu rumah ibuku. Dia sedang berkunjung ke Jogja waktu itu. Obrolan ringan
awalnya. Bertanya kabar keluarga dan kawan-kawan lama. Hingga sampailah pada
pembicaraan dengan pertanyaan dan pernyataan berat darinya. Di titik ini, bagai
menonton film Milan Kundera di bioskop, jangan sekali kali lengah atau pergi ke
kamar mandi hanya untuk buang air kecil sekalipun. Kau akan kehilangan arah
cerita jika tak menyimak dengan seksama.
“Kau tahu, Vik? Aku selalu memelihara masa lalu. Segala hal
yang kulalui dan kulakukan, kuingat dan kupelihara dengan baik. Bahkan
perempuan-perempuan yang pernah menjadi kekasih atau sekedar “teman dekat”
saja, semuanya kujaga dengan baik di ingatan dan kehidupanku ke depan. Aku
menyimpan mereka semua. Mereka yang pernah begitu berharga. Mereka yang pernah
bersamaku membagi senyum dan banyak hal lainnya.”
Aku menyimak saja. Waktu ini miliknya. Kuserahkan segenap
perhatian dan dua telingaku padanya.
“Banyak hal berubah dari waktu ke waktu. Banyak kawan datang
dan pergi seiring sibuk yang mau tak mau harus dijalani. Semakin kemari semakin
terasa, mana yang memang berarti dan tak pernah pergi; dan mana yang ternyata
memang sangat dangkal keberadaannya. Di titikku ini, kaulah satu-satunya hal
yang tak pernah pergi. Selain ibu dan adikku tentu. Kita tak pernah bercekcok
untuk sesuatu yang berarti. Dan entah kenapa aku memang sangat jarang bisa
menang jika berargumen denganmu.” Dia berhenti bicara dan menghisap dalam-dalam
rokok kreteknya. Memandangku sebentar yang tahu dia belum selesai bicara.
Menjentik-jentikkan rokoknya di atas asbak, seperti memberiku waktu untuk
bersiap menerima kata-kata selanjutnya.
Dan tiba-tiba dia bertanya, “Apa yang membuatmu memutuskan
untuk menikah?”
Deg! Jantungku berhenti sepersekian detik mendengar
pertanyaannya. Tiba-tiba saja banyak pertanyaan berkecamuk di kepalaku. Apakah
aku mencintainya? Sungguh-sungguh mencintainya? Apakah aku siap dengan segala
tetek bengek pernikahan yang sudah pasti tak selamanya mudah dan indah? Apakah
aku siap berkomitmen hanya dengan satu orang saja yang selanjutnya akan kusebut
suami selama sisa hidupku? Apa aku siap merelakan banyak waktuku untuk sebuah
hal yang disebut berumah tangga?
Aku terhenyak ke sandaran kursiku. Pikiranku tak lagi ada di
ruang tamu ibu. Dan dia kembali bertanya, “Apa yang kau cari dari sebuah
pernikahan, Vik?”, tanpa merubah posisi duduknya. Pertanyaannya memang
terdengar sinis, tapi memang begitulah dia. Selalu mengejutkanku dengan
pertanyaan-pertanyaan sulit yang hampir tak pernah terlintas di kepalaku. Di
umurku yang dua puluh empat tahun waktu itu. Pertanyaan pertamanya sudah cukup
menyulitkan pikiranku. Dan ditambahinya dengan pertanyaan kedua yang aku tak
pernah siap dengan jawabannya. Tapi aku sangat mengenalnya. Sebuah pertanyaan
harus diselesaikan dengan jawaban baginya. Seperti itulah dia menempaku selama
ini. Dan sungguh, dia selalu bisa membaca segala ragu dari raut dan jawabanku.
Dia tahu aku tak siap dan hanya diam menanti gerakan di bibirku.
“Shit!”, umpatku akhirnya. “Kenapa pertanyaan semacam ini
tak pernah terlintas di pikiranku?!” Aku memberinya kepastian akan
ketidaksiapanku. “Tapi ini kau yang bertanya; dan aku pantang tak bisa menjawab
pertanyaanmu!”, kataku kesal. Aku diam sejenak menyiapkan jawaban.
“Ok, pertama, karena aku adalah anak pertama dan aku seorang
perempuan. Kurasa, di titikku saat ini, aku sudah cukup mampu untuk mengambil
komitmen ini.” Dia masih diam, menyimak sambil terus menjentikkan jarinya. Tak
memandangku, memandangi rokoknya.
“Kedua. Kami telah menyepakati hal-hal yang memang perlu
untuk kami sepakati lebih dulu. Sebelum melangkah maju. Dia paham akan posisiku
di rumah orang tuaku dan dia pun tak berkeberatan aku tetap bekerja nantinya.
Pekerjaan yang memang aku suka. Dia tahu hal-hal apa yang membuatku bahagia.
Dan dia mau aku tetap melakukannya.” Dia masih tak bersuara, dan menghembuskan
asap rokoknya ke samping, tampak sedikit kesal.
“Ketiga. Aku ingin segera mempunyai anak dan sudah tak
berencana hamil lagi saat usiaku menginjak kepala tiga. Itu saja”, kataku
mengakhiri jawaban.
Dia menghisap rokoknya dalam. Masih belum mau memandangku.
Aku tahu jawabanku tak memuaskannya. Dan aku benci akan hal itu.
“Vik, jika tujuanmu hanya ingin punya anak, kau bisa
mendapatkannya dari mana saja. Kapan saja. Tak perlu menikah.” Sekarang dia
mulai melihatku. “Tapi jika tujuanmu itu untuk punya masalah. Maka menikahlah.”
Katanya datar namun penuh kemenangan.
Aku kehabisan kata-kata. Tak tahu lagi harus membawa obrolan
ini ke arah mana. Aku kalah seada-adanya. Walau ini jelas bukan soal menang atau
kalah. Tapi aku tak suka berada di posisi yang membuatku tampak lemah di
hadapannya. Bodoh sekali rasanya. Dan seorang perempuan diharamkan untuk bodoh
sejak dari tampaknya. Ibu Kartini dan Simone de Beauvoir pasti tak tenang di
alam kuburnya.
Aku mengambil sebatang rokoknya. Dan dia dengan tenang
menyalakan koreknya untukku. Kuhisap dalam kretek itu. Kuhembuskan
gelisah-gelisah yang memenuhi dada lewat asapnya. Aku terdiam memikirkan
perkataannya. Mataku menatap kosong ke ujung mejanya. Apa yang salah dengan
keputusanku? Di mana salahnya menikah, pikirku. Aku tahu dia sengaja diam dan
membiarkanku berpikir. Tak juga berusaha membuatku merasa nyaman dengan apa yang
kupikirkan. Ini bukan jahat. Tapi dialah guruku untuk sebagian besar kenyataan
hidup yang tak selalu manis. Dialah pandai besi berstatus Sarjana Hukum yang
membentuk sebagian besar pola pikirku dalam hati dan kepala. Dia kakakku
satu-satunya. Yang tinggal sangat jauh; namun tak pernah terlalu jauh untuk
sekedar datang dan memelukku sebentar saat aku sangat membutuhkannya.
“Kau mencintainya, Vik?”, katanya akhirnya. Pertanyaan
ketiga yang sudah bisa kuduga setelah pertanyaan keduanya.
Aku menghela napas. Berat. Aku telah menduganya, namun tak
juga tahu harus menjawab bagaimana. “Apakah dalam sebuah pernikahan harus
selalu ada cinta?”. Aku menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan. “Apa tak bisa;
atau tak boleh, jika menikah saja dulu baru membentuk cinta sesudahnya?”
Dia tersenyum yang nyaris tak tampak seperti senyum. Lebih
mirip seringai bagiku saat itu. Menghembuskan asap rokoknya dan berkata,
“Sayang, aku lebih banyak berada di dekatmu dari pada waktunya denganmu. Dan
bertaruh dengan semua hartaku pun aku berani untuk mengatakan aku mengenalmu
dengan lebih baik dari pada laki-laki mana pun di dunia ini yang mengaku
mencintaimu. Selain Bapakmu tentunya.”
Aku masih diam, tak memandangnya. Memain-mainkan rokok di
jariku. Dia melanjutkan, “Kau yakin dia mencintaimu?” Dia memberi jeda. “Paling
tidak, kau tahu dia mencintaimu jika kau tidak; atau belum yakin kau cinta
padanya. Itu saja buatku.” Kudiamkan dia, tak mau menjawab atau mengomentari
pertanyaannya. Aku tahu sayangnya padaku melebihi apa pun. Bahkan melebihi
sayangnya pada adik kandungnya. Aku tahu, semua pertanyaan dan pernyataannya
ini ditujukan semata-mata untuk kebaikanku. Tapi aku sungguh tak punya jawaban
pasti untuk semua ini. Aku memilih untuk diam dan menolak memberikan jawaban
untuk sesuatu yang memang tak pasti.
“Kak, aku mau menikah. Hanya beberapa bulan dari sekarang.
Dan kau sungguh tega membuka mata dan telingaku yang sengaja kututup
rapat-rapat dengan pertanyaan-pertanyaanmu itu.” Aku berhenti sejenak, dia
mendengarkan, kali ini sambil memandangku, tanpa aku memandangnya. “Aku sudah
memutuskan hal ini. Dan betapa tak mungkin aku membatalkan semuanya di
saat-saat ini. Aku tahu ke mana arahmu. Aku hanya berharap kau akan tetap ada
untukku nantinya. Sekedar memberi peluk dan meminjamkan telingamu untukku
disaat aku sungguh membutuhkanmu di depan sana. Bersedia kah kau melakukannya?”
Dia mematikan rokoknya. Meraih tanganku dan berkata, “Vik,
kau tahu sayangku padamu seperti apa. Tak cukup kah itu untuk dijadikan alasan
agar kau juga menyayangi dirimu sendiri?” Aku menunduk semakin dalam. “Dengar
kesayanganku. Apa pun yang terjadi padamu di sana nanti. Saat kau menemui
masa-masa sulit dengannya. Bahkan saat kau bertengkar hebat entah karena apa.
Aku akan selalu ada untuk membelamu sebisa-bisaku.” Dia berhenti sejenak hanya
untuk mendekatkan posisi duduknya padaku. “Apa pun masalahmu. Aku tak peduli
kalau pun kau yang salah di sana. Aku akan berdiri paling depan untuk
membelamu. Kau tahu kenapa? Aku tak pernah benar-benar mengenal laki-lakimu,
dan aku sungguh tak rela kalau sampai kau tersakiti oleh perbuatannya. Aku tak
peduli padanya. Tapi kau; kita disatukan oleh darah, Vik. Apa pun yang
menyakitimu akan menyakitiku. Pahamlah dulu akan hal itu sebelum kau mengatakan
aku jahat karena kau anggap tak mendukungmu.”
Dia beringsut ke sebelahku. Menarikku yang kehabisan
kata-kata dan hanya bisa menunduk ke pelukannya. Mata kiriku meluap, airnya tak
tertampung dan menetes jatuh di atas tangannya yang menggenggam tanganku. Aku
bahkan kesulitan mengenali perasaanku sendiri. Dialah laki-laki paling tulus
setelah Bapak yang mencintaiku tanpa mengharapkan apa pun. Dia tak pernah
menyalahkan, tapi selalu mengarahkan. Karena menyalahkan hanya akan membuat
jalan buntu, tak akan memberi penyelesaian.
Coba tunjukkan padaku, bagian mana dari semua yang dia
katakan itu salah?
Dia lah kakak; saudara; kawan; bahkan juga kekasih buatku.
Dia yang selalu direpotkan dengan penjelasan-penjelasan pada kekasih-kekasihnya
yang cemburu pada perlakuannya padaku. Dia yang menyimpan hampir seluruh
rahasiaku dan menjadikannya bagian dari dirinya. Dia yang rela kujadikan alasan pada kekasihku di waktu-waktu dulu.
Dia yang pasrah saja dan mengatakan, “Gunakan aku sebrengsek-brengsekmu, Vik.
Selagi kau bisa.” Cinta macam apa ini kau menyebutnya? Hanya padanya aku mampu
membagi cerita tanpa perlu khawatir akan penilaiannya padaku.
Seno Merah, begitu dia menjuluki dirinya sendiri. Dengan
rentetan cerita panjang dari dunia wayang tentang 2 tokoh Seno, dia katakan
padaku, dialah Seno Merah. Tak ada yang perlu kuragukan padanya. Tak ada yang
perlu kukhawatirkan saat aku bersamanya. Tak ada yang tak cemburu padaku melihat
perlakuannya.
Kemudian dia berkata, “Sayangku, seorang teman bilang
padaku; aku hanya memiliki tiga hal yang menjadikan aku penting bagi mereka;
setia kawan, setia kawan dan setia kawan. Padamu aku hanya memiliki satu hal
saja untuk menjadikanmu penting dalam hidupku; aku menyayangimu sampai tulang
sumsum.” Dia meletakkan kepalaku di bahunya, “Aku berharap banyak padamu. Pada
ketabahan, kesabaran, kesetiaan, loyalitas dan itegritas yang aku sendiri tak
bisa ungkapkan. Aku butuh kamu untuk berlari bersamaku. Di tengah hujan yang
kadang tak berisi air, tapi panah dan peluru tanpa ada tempat berlindung dan
upaya selain menerimanya dengan gagah. Karena aku tak percaya takdir. Takdir
adalah milik mereka yang memang dilahirkan beruntung atau mereka yang menyerah
sebelum bertahan. Kita tidak dilahirkan untuk menjadi seorang yang sudah
ditentukan. Satu-satunya nasib yang tak mungkin kita elakkan hanyalah kematian.
Sisanya bukanlah takdir. Tapi sebuah sebab akibat yang saling bertautan. Tuhan
memberi kita hidup, menunjukkan banyak hal untuk kita melewati dalam hidup,
tapi menyerahkannya pada kita untuk menentukannya. Kita yang memilihnya.
Menyia-nyiakannya atau memanfaatkannya sebaik mungkin. Aku butuh mencintai kamu
dengan karaktermu yang kuat. Karakter yang hanya kamu yang punya. Karakter yang
tak akan bisa dicuri orang, tak pudar oleh waktu, justru semakin baik. Buat aku
semakin mencintai itu. Berjanjilah padaku tak ada yang akan membuatmu menyerah
pada nasib walaupun dunia berkonspirasi melawanmu.”
Aku tersenyum mendengarnya berpanjang lebar. “Kak, aku tak kemana-mana. Aku hanya menikah. Dan kurasa aku tak akan mati semudah itu. Jika kau cemburu dan takut kehilangan aku dengan keputusanku ini, maka buanglah jauh-jauh pikiran itu. Aku paham dengan kekhawatiranmu. Tapi aku tak akan kenapa-kenapa, kurasa kau tahu sekuat apa kau telah menempaku. Aku tak akan kemana-mana, aku akan tetap ada untukmu kapan pun kau membutuhkanku. Walau mungkin aku akan butuh sedikit kelonggaran waktu agar kau mau menunggu. Nantinya, saat tiba waktumu pada keputusan yang ada padaku saat ini, aku tahu itulah yang terbaik buatmu. Bahwa dialah perempuan yang akan merasa beruntung selama sisa akhir hayatnya karena telah menemukanmu. Dan kumohon, berikan aku kekuatan itu.” Kini aku memandangnya. “Yang kubutuhkan tak banyak. Aku hanya mau kau ada. Dan aku percaya kau akan selalu ada. Maka jika boleh kuminta, di hariku nanti, tanggalkan semua kesibukanmu. Hadirlah untukku. Berdansalah denganku di hari bahagiaku. Sekali ini saja. Demi aku. Demi seluruh waktu yang pernah kita lalui dan selamanya akan bersemayam dalam dada kita. Tak usah mengharapkan orang lain untuk paham. Karena itu akan sangat menyulitkan mereka. Aku menyayangimu dengan caraku. Dan hanya kamu yang tahu.”
“Ya, kurasa aku hanya tak siap kehilangan kau dan waktumu untukku.”, akhirnya dia bicara. “Jika ini membuatmu bahagia, bagaimana bisa aku tak mendukungmu? Aku akan datang, Vik. Untukmu! Kau mau hadiah apa dariku?”
“Datang saja. Itu hadiah terbaik untukku.”
*Ditulis untuk Seno Merah tersayang. Selamat ulang tahun,
kesayanganku. Berlimpahlah berkah untukmu. Deraslah arus kebahagiaan dalam
hidupmu. Dan jangan pernah meninggalkan langut-langutmu. Yang membawakan banyak
tulisan, lukisan dan karya di usiamu. Sayang kamu kak, selalu dan selalu.
*Beberapa bagian dari tulisan di atas diambil dari blog www.senomerah.blogspot.com (Mari
Tiup Lilinmu, Sayang & Masih Tentang Bertahan Hidup, Sayang)
Jogja, 6 Mei 2017
love, vie