Selasa, 09 Mei 2017

Selepas Maghrib di Ruang Tamu Ibu

Suatu hari, pernah kami berbincang. Selepas maghrib di ruang tamu rumah ibuku. Dia sedang berkunjung ke Jogja waktu itu. Obrolan ringan awalnya. Bertanya kabar keluarga dan kawan-kawan lama. Hingga sampailah pada pembicaraan dengan pertanyaan dan pernyataan berat darinya. Di titik ini, bagai menonton film Milan Kundera di bioskop, jangan sekali kali lengah atau pergi ke kamar mandi hanya untuk buang air kecil sekalipun. Kau akan kehilangan arah cerita jika tak menyimak dengan seksama.

“Kau tahu, Vik? Aku selalu memelihara masa lalu. Segala hal yang kulalui dan kulakukan, kuingat dan kupelihara dengan baik. Bahkan perempuan-perempuan yang pernah menjadi kekasih atau sekedar “teman dekat” saja, semuanya kujaga dengan baik di ingatan dan kehidupanku ke depan. Aku menyimpan mereka semua. Mereka yang pernah begitu berharga. Mereka yang pernah bersamaku membagi senyum dan banyak hal lainnya.”

Aku menyimak saja. Waktu ini miliknya. Kuserahkan segenap perhatian dan dua telingaku padanya.

“Banyak hal berubah dari waktu ke waktu. Banyak kawan datang dan pergi seiring sibuk yang mau tak mau harus dijalani. Semakin kemari semakin terasa, mana yang memang berarti dan tak pernah pergi; dan mana yang ternyata memang sangat dangkal keberadaannya. Di titikku ini, kaulah satu-satunya hal yang tak pernah pergi. Selain ibu dan adikku tentu. Kita tak pernah bercekcok untuk sesuatu yang berarti. Dan entah kenapa aku memang sangat jarang bisa menang jika berargumen denganmu.” Dia berhenti bicara dan menghisap dalam-dalam rokok kreteknya. Memandangku sebentar yang tahu dia belum selesai bicara. Menjentik-jentikkan rokoknya di atas asbak, seperti memberiku waktu untuk bersiap menerima kata-kata selanjutnya.

Dan tiba-tiba dia bertanya, “Apa yang membuatmu memutuskan untuk menikah?”

Deg! Jantungku berhenti sepersekian detik mendengar pertanyaannya. Tiba-tiba saja banyak pertanyaan berkecamuk di kepalaku. Apakah aku mencintainya? Sungguh-sungguh mencintainya? Apakah aku siap dengan segala tetek bengek pernikahan yang sudah pasti tak selamanya mudah dan indah? Apakah aku siap berkomitmen hanya dengan satu orang saja yang selanjutnya akan kusebut suami selama sisa hidupku? Apa aku siap merelakan banyak waktuku untuk sebuah hal yang disebut berumah tangga?

Aku terhenyak ke sandaran kursiku. Pikiranku tak lagi ada di ruang tamu ibu. Dan dia kembali bertanya, “Apa yang kau cari dari sebuah pernikahan, Vik?”, tanpa merubah posisi duduknya. Pertanyaannya memang terdengar sinis, tapi memang begitulah dia. Selalu mengejutkanku dengan pertanyaan-pertanyaan sulit yang hampir tak pernah terlintas di kepalaku. Di umurku yang dua puluh empat tahun waktu itu. Pertanyaan pertamanya sudah cukup menyulitkan pikiranku. Dan ditambahinya dengan pertanyaan kedua yang aku tak pernah siap dengan jawabannya. Tapi aku sangat mengenalnya. Sebuah pertanyaan harus diselesaikan dengan jawaban baginya. Seperti itulah dia menempaku selama ini. Dan sungguh, dia selalu bisa membaca segala ragu dari raut dan jawabanku. Dia tahu aku tak siap dan hanya diam menanti gerakan di bibirku.

“Shit!”, umpatku akhirnya. “Kenapa pertanyaan semacam ini tak pernah terlintas di pikiranku?!” Aku memberinya kepastian akan ketidaksiapanku. “Tapi ini kau yang bertanya; dan aku pantang tak bisa menjawab pertanyaanmu!”, kataku kesal. Aku diam sejenak menyiapkan jawaban.

“Ok, pertama, karena aku adalah anak pertama dan aku seorang perempuan. Kurasa, di titikku saat ini, aku sudah cukup mampu untuk mengambil komitmen ini.” Dia masih diam, menyimak sambil terus menjentikkan jarinya. Tak memandangku, memandangi rokoknya.

“Kedua. Kami telah menyepakati hal-hal yang memang perlu untuk kami sepakati lebih dulu. Sebelum melangkah maju. Dia paham akan posisiku di rumah orang tuaku dan dia pun tak berkeberatan aku tetap bekerja nantinya. Pekerjaan yang memang aku suka. Dia tahu hal-hal apa yang membuatku bahagia. Dan dia mau aku tetap melakukannya.” Dia masih tak bersuara, dan menghembuskan asap rokoknya ke samping, tampak sedikit kesal.

“Ketiga. Aku ingin segera mempunyai anak dan sudah tak berencana hamil lagi saat usiaku menginjak kepala tiga. Itu saja”, kataku mengakhiri jawaban.

Dia menghisap rokoknya dalam. Masih belum mau memandangku. Aku tahu jawabanku tak memuaskannya. Dan aku benci akan hal itu.

“Vik, jika tujuanmu hanya ingin punya anak, kau bisa mendapatkannya dari mana saja. Kapan saja. Tak perlu menikah.” Sekarang dia mulai melihatku. “Tapi jika tujuanmu itu untuk punya masalah. Maka menikahlah.” Katanya datar namun penuh kemenangan.
Aku kehabisan kata-kata. Tak tahu lagi harus membawa obrolan ini ke arah mana. Aku kalah seada-adanya. Walau ini jelas bukan soal menang atau kalah. Tapi aku tak suka berada di posisi yang membuatku tampak lemah di hadapannya. Bodoh sekali rasanya. Dan seorang perempuan diharamkan untuk bodoh sejak dari tampaknya. Ibu Kartini dan Simone de Beauvoir pasti tak tenang di alam kuburnya.

Aku mengambil sebatang rokoknya. Dan dia dengan tenang menyalakan koreknya untukku. Kuhisap dalam kretek itu. Kuhembuskan gelisah-gelisah yang memenuhi dada lewat asapnya. Aku terdiam memikirkan perkataannya. Mataku menatap kosong ke ujung mejanya. Apa yang salah dengan keputusanku? Di mana salahnya menikah, pikirku. Aku tahu dia sengaja diam dan membiarkanku berpikir. Tak juga berusaha membuatku merasa nyaman dengan apa yang kupikirkan. Ini bukan jahat. Tapi dialah guruku untuk sebagian besar kenyataan hidup yang tak selalu manis. Dialah pandai besi berstatus Sarjana Hukum yang membentuk sebagian besar pola pikirku dalam hati dan kepala. Dia kakakku satu-satunya. Yang tinggal sangat jauh; namun tak pernah terlalu jauh untuk sekedar datang dan memelukku sebentar saat aku sangat membutuhkannya.

“Kau mencintainya, Vik?”, katanya akhirnya. Pertanyaan ketiga yang sudah bisa kuduga setelah pertanyaan keduanya.

Aku menghela napas. Berat. Aku telah menduganya, namun tak juga tahu harus menjawab bagaimana. “Apakah dalam sebuah pernikahan harus selalu ada cinta?”. Aku menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan. “Apa tak bisa; atau tak boleh, jika menikah saja dulu baru membentuk cinta sesudahnya?”

Dia tersenyum yang nyaris tak tampak seperti senyum. Lebih mirip seringai bagiku saat itu. Menghembuskan asap rokoknya dan berkata, “Sayang, aku lebih banyak berada di dekatmu dari pada waktunya denganmu. Dan bertaruh dengan semua hartaku pun aku berani untuk mengatakan aku mengenalmu dengan lebih baik dari pada laki-laki mana pun di dunia ini yang mengaku mencintaimu. Selain Bapakmu tentunya.”

Aku masih diam, tak memandangnya. Memain-mainkan rokok di jariku. Dia melanjutkan, “Kau yakin dia mencintaimu?” Dia memberi jeda. “Paling tidak, kau tahu dia mencintaimu jika kau tidak; atau belum yakin kau cinta padanya. Itu saja buatku.” Kudiamkan dia, tak mau menjawab atau mengomentari pertanyaannya. Aku tahu sayangnya padaku melebihi apa pun. Bahkan melebihi sayangnya pada adik kandungnya. Aku tahu, semua pertanyaan dan pernyataannya ini ditujukan semata-mata untuk kebaikanku. Tapi aku sungguh tak punya jawaban pasti untuk semua ini. Aku memilih untuk diam dan menolak memberikan jawaban untuk sesuatu yang memang tak pasti.

“Kak, aku mau menikah. Hanya beberapa bulan dari sekarang. Dan kau sungguh tega membuka mata dan telingaku yang sengaja kututup rapat-rapat dengan pertanyaan-pertanyaanmu itu.” Aku berhenti sejenak, dia mendengarkan, kali ini sambil memandangku, tanpa aku memandangnya. “Aku sudah memutuskan hal ini. Dan betapa tak mungkin aku membatalkan semuanya di saat-saat ini. Aku tahu ke mana arahmu. Aku hanya berharap kau akan tetap ada untukku nantinya. Sekedar memberi peluk dan meminjamkan telingamu untukku disaat aku sungguh membutuhkanmu di depan sana. Bersedia kah kau melakukannya?”

Dia mematikan rokoknya. Meraih tanganku dan berkata, “Vik, kau tahu sayangku padamu seperti apa. Tak cukup kah itu untuk dijadikan alasan agar kau juga menyayangi dirimu sendiri?” Aku menunduk semakin dalam. “Dengar kesayanganku. Apa pun yang terjadi padamu di sana nanti. Saat kau menemui masa-masa sulit dengannya. Bahkan saat kau bertengkar hebat entah karena apa. Aku akan selalu ada untuk membelamu sebisa-bisaku.” Dia berhenti sejenak hanya untuk mendekatkan posisi duduknya padaku. “Apa pun masalahmu. Aku tak peduli kalau pun kau yang salah di sana. Aku akan berdiri paling depan untuk membelamu. Kau tahu kenapa? Aku tak pernah benar-benar mengenal laki-lakimu, dan aku sungguh tak rela kalau sampai kau tersakiti oleh perbuatannya. Aku tak peduli padanya. Tapi kau; kita disatukan oleh darah, Vik. Apa pun yang menyakitimu akan menyakitiku. Pahamlah dulu akan hal itu sebelum kau mengatakan aku jahat karena kau anggap tak mendukungmu.”

Dia beringsut ke sebelahku. Menarikku yang kehabisan kata-kata dan hanya bisa menunduk ke pelukannya. Mata kiriku meluap, airnya tak tertampung dan menetes jatuh di atas tangannya yang menggenggam tanganku. Aku bahkan kesulitan mengenali perasaanku sendiri. Dialah laki-laki paling tulus setelah Bapak yang mencintaiku tanpa mengharapkan apa pun. Dia tak pernah menyalahkan, tapi selalu mengarahkan. Karena menyalahkan hanya akan membuat jalan buntu, tak akan memberi penyelesaian.

Coba tunjukkan padaku, bagian mana dari semua yang dia katakan itu salah?

Dia lah kakak; saudara; kawan; bahkan juga kekasih buatku. Dia yang selalu direpotkan dengan penjelasan-penjelasan pada kekasih-kekasihnya yang cemburu pada perlakuannya padaku. Dia yang menyimpan hampir seluruh rahasiaku dan menjadikannya bagian dari dirinya. Dia yang rela kujadikan alasan pada kekasihku di waktu-waktu dulu. Dia yang pasrah saja dan mengatakan, “Gunakan aku sebrengsek-brengsekmu, Vik. Selagi kau bisa.” Cinta macam apa ini kau menyebutnya? Hanya padanya aku mampu membagi cerita tanpa perlu khawatir akan penilaiannya padaku.

Seno Merah, begitu dia menjuluki dirinya sendiri. Dengan rentetan cerita panjang dari dunia wayang tentang 2 tokoh Seno, dia katakan padaku, dialah Seno Merah. Tak ada yang perlu kuragukan padanya. Tak ada yang perlu kukhawatirkan saat aku bersamanya. Tak ada yang tak cemburu padaku melihat perlakuannya.

Kemudian dia berkata, “Sayangku, seorang teman bilang padaku; aku hanya memiliki tiga hal yang menjadikan aku penting bagi mereka; setia kawan, setia kawan dan setia kawan. Padamu aku hanya memiliki satu hal saja untuk menjadikanmu penting dalam hidupku; aku menyayangimu sampai tulang sumsum.” Dia meletakkan kepalaku di bahunya, “Aku berharap banyak padamu. Pada ketabahan, kesabaran, kesetiaan, loyalitas dan itegritas yang aku sendiri tak bisa ungkapkan. Aku butuh kamu untuk berlari bersamaku. Di tengah hujan yang kadang tak berisi air, tapi panah dan peluru tanpa ada tempat berlindung dan upaya selain menerimanya dengan gagah. Karena aku tak percaya takdir. Takdir adalah milik mereka yang memang dilahirkan beruntung atau mereka yang menyerah sebelum bertahan. Kita tidak dilahirkan untuk menjadi seorang yang sudah ditentukan. Satu-satunya nasib yang tak mungkin kita elakkan hanyalah kematian. Sisanya bukanlah takdir. Tapi sebuah sebab akibat yang saling bertautan. Tuhan memberi kita hidup, menunjukkan banyak hal untuk kita melewati dalam hidup, tapi menyerahkannya pada kita untuk menentukannya. Kita yang memilihnya. Menyia-nyiakannya atau memanfaatkannya sebaik mungkin. Aku butuh mencintai kamu dengan karaktermu yang kuat. Karakter yang hanya kamu yang punya. Karakter yang tak akan bisa dicuri orang, tak pudar oleh waktu, justru semakin baik. Buat aku semakin mencintai itu. Berjanjilah padaku tak ada yang akan membuatmu menyerah pada nasib walaupun dunia berkonspirasi melawanmu.”

Aku tersenyum mendengarnya berpanjang lebar. “Kak, aku tak kemana-mana. Aku hanya menikah. Dan kurasa aku tak akan mati semudah itu. Jika kau cemburu dan takut kehilangan aku dengan keputusanku ini, maka buanglah jauh-jauh pikiran itu. Aku paham dengan kekhawatiranmu. Tapi aku tak akan kenapa-kenapa, kurasa kau tahu sekuat apa kau telah menempaku. Aku tak akan kemana-mana, aku akan tetap ada untukmu kapan pun kau membutuhkanku. Walau mungkin aku akan butuh sedikit kelonggaran waktu agar kau mau menunggu. Nantinya, saat tiba waktumu pada keputusan yang ada padaku saat ini, aku tahu itulah yang terbaik buatmu. Bahwa dialah perempuan yang akan merasa beruntung selama sisa akhir hayatnya karena telah menemukanmu. Dan kumohon, berikan aku kekuatan itu.” Kini aku memandangnya. “Yang kubutuhkan tak banyak. Aku hanya mau kau ada. Dan aku percaya kau akan selalu ada. Maka jika boleh kuminta, di hariku nanti, tanggalkan semua kesibukanmu. Hadirlah untukku. Berdansalah denganku di hari bahagiaku. Sekali ini saja. Demi aku. Demi seluruh waktu yang pernah kita lalui dan selamanya akan bersemayam dalam dada kita. Tak usah mengharapkan orang lain untuk paham. Karena itu akan sangat menyulitkan mereka. Aku menyayangimu dengan caraku. Dan hanya kamu yang tahu.”

“Ya, kurasa aku hanya tak siap kehilangan kau dan waktumu untukku.”, akhirnya dia bicara. “Jika ini membuatmu bahagia, bagaimana bisa aku tak mendukungmu? Aku akan datang, Vik. Untukmu! Kau mau hadiah apa dariku?”

“Datang saja. Itu hadiah terbaik untukku.”



*Ditulis untuk Seno Merah tersayang. Selamat ulang tahun, kesayanganku. Berlimpahlah berkah untukmu. Deraslah arus kebahagiaan dalam hidupmu. Dan jangan pernah meninggalkan langut-langutmu. Yang membawakan banyak tulisan, lukisan dan karya di usiamu. Sayang kamu kak, selalu dan selalu.

*Beberapa bagian dari tulisan di atas diambil dari blog www.senomerah.blogspot.com (Mari Tiup Lilinmu, Sayang & Masih Tentang Bertahan Hidup, Sayang)



Jogja, 6 Mei 2017



love, vie