Rabu, 16 Januari 2019

SMJ dan Kisah Pasukan Berani Nganu


Sejak pukul 19.00 Kedai Kebun Forum sudah mulai ramai. Selain karena waktu itu malam minggu, sebagian lainnya memang datang secara khusus untuk menghadiri undangan terbuka untuk acara yang kami selenggarakan. Dengan persiapan yang cukup mepet, dua bulan untuk mempersiapkan launching buku bukanlah waktu yang ideal untuk mencetak buku dan meluncurkannya. Sebelumnya perlu saya sampaikan bahwa tulisan ini adalah draft yang berusia hampir satu tahun dan mangkrak kala itu karena satu dan lain hal, maka isi dari tulisan di bawah ini sengaja tidak saya edit lagi supaya euforia yang berdebar di dada kami kala itu dapat tetap terasa ketika kalian membacanya. Salam.


Tentang Syak Merah Jambu dan Pasukan Berani Nganu di Balik Launching Buku

Hari ini tepat dua minggu lalu, buku pertama kami yang kami panggil dengan sebutan “anak-anak rindu” resmi dilaunching di Kedai Kebun Forum, Yogyakarta. Kami menagguhkan namanya dalam kearsipan secara resmi dengan nama, “Syak Merah Jambu, Catatan Para Perawat Ingatan”. Setelah melalui beberapa kali pertimbangan dan memutuskan nama inilah yang paling manis untuk anak pertama kami.

Singkat cerita, kami bertujuh yang bermula dari sama-sama punya kegemaran menulis, baru menyadari bahwa kegiatan menulis yang kami lakukan bersama-sama ini telah hampir berusia satu tahun di bulan Desember 2017 lalu. Tepatnya satu tahun di tanggal 28 Februari 2018. Dari situlah mulai muncul “andai-andai”, bagaimana jika kita membukukan tulisan kita selama satu tahun ini? Maka terbakarlah dada saya menerima ide ini. Saya mulai bertanya kesana-kemaari tentang seluk beluk menerbitkan buku. Beruntung di Jogja ini, jumlah orang baik dan baik sekali masih banyak, dan kawan-kawan saya yang luar biasa itu mulai membantu dengan melakukan ini itu untuk terwujudnya Syak Merah Jambu.

Saya tak akan menceritakan detail perjalanan terwujudnya Syak Merah Jambu, karena akan bisa jadi cerpen sendiri jika saya melakukannya. Bukan kenapa-kenapa, tapi terlalu banyak “drama” yang tentu saja khas dengan cerita-cerita yang sering dituliskan NDC. Tak hanya akan membuatmu ingin menangis, tapi juga tertawa, bahkan mengumpat saya nantinya. Walau saya sama sekali tak keberatan kalian melakukannya, tapi kutahan saja tak menceritakannya. Agar kalian bisa belajar menahan rasa ingin tahu kalian, dan belajar bersabar karena bukan tak mungkin kami akan menceritakannya nanti saat ada kesempatan NDC berkumpul lagi dan melakukan pentas pembacaan karya (lagi) di kota-kota lainnya. Tolong aminkan bagian ini, tolong ini tujuan mulia lhoo! (maaf, nyebut merk tegel di sini walau mereka sama sekali tak mensponsori)

Saya akan menceritakan orang-orang luar biasa yang ada di balik buku ini saja. Dan saya akan memulainya dengan Alfin Rizal dan Al Farisi. Alfin adalah seorang muda, penulis buku kumcer Lelaku dan kumpulan puisi Kesengsem. Dialah yang membuat cover buku SMJ. Sedang Farisi, seorang muda asal Sumenep yang sedang menjalani kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pembaca buku yang tekun, yang membuatnya sangat berkompeten untuk membuat layout buku. Mereka berdua sempat tidak tidur selama 2 malam demi melakukan editing SMJ agar bisa segera naik cetak. Saat itu sudah kurang satu minggu dari jadwal launching yang sudah kami tetapkan. Alfin bahkan sempat meminta langsung kepada saya untuk menunda acara launching selama satu minggu ke belakang. Tapi saya memaksa dan terpaksa mengatakan tak bisa, karena kawan-kawan dari luar kota sudah mengambil cuti di tanggal tersebut dan poster KKF yang sudah beredar kemana-mana. Maka “pasukan berani tak mandi” ini meneguhkan tekad dan hanya meminta kami sama-sama tak tidur di malam mereka mengerjakan editing buku, karena anggota NDC ini sangat pantas diberi julukan “komunitas typo garis keras”.

Maka tak tidurlah kami di malam itu. Dengan tetap aktif di group whatsapp untuk menyemangati mereka berdua. Walau saya jadi sangsi saat itu, karena bagaimana mereka bisa bekerja jika terus menerus aktif berbalas pesan WA??? Tapi kami tak kalah cerdik, membagi shift untuk tidur karena kami bertujuh itu lebih meringankan buat kami. Sedangkan Alfin dan Farisi harus menerima ini dengan (mungkin) berat hati, hahaha. Keesokan harinya, pukul 10 pagi mereka masih update foto di group. Wajah-wajah lelah mereka dan posisi Farisi yang sudah mulai berbaring di beranda sebuah tempat ngopi 24 jam di Jogja, bersiap untuk tidur. Sungguh tak tega sebetulnya. Dan saya hanya bisa berkali-kali mengingatkan mereka untuk minum air putih yang banyak, jangan kopi lagi. Saya tak mampu jika harus bertanggungjawab atas kesehatan 2 orang tuna kekasih ini. Tak bisa membayangkan mereka jatuh sakit saat tak ada kekasih yang bisa membuat mereka minimal merasa sedikit lebih baik dengan keberadaannya. Oh maaf, Alfin punya pacar, tapi jauh tinggalnya, jadi ya anggap saja tetap sulit merasakan kasih sayangnya secara riil. [pardon my language]

Siang harinya di tengah kesibukan saya berperan sebagai ibu, saya terus melakukan cross check pada Alfin apakah naskah kami sudah masuk ke percetakan atau belum. Dan alhamdulillah, tepat smenjelang maghrib Alfin mengabari saya bahwa naskah sudah masuk dan akan segera menjalani proses pencetakan. Bentuk terima kasih seperti apa lagi yang harus saya berikan kepada mereka berdua yang luar biasa. Lemah teles yo cah, Gusti Alloh sik mbales.

Sudah hampir satu setengah halaman saya menuliskan kisah ini dan ini baru mencapai sedikit bagian dari yang ingin saya ceritakan. Selanjutnya saya akan menceritakan bagaimana pengorbanan dan drama semua personil NDC untuk persiapan pementasan di launching acara buku kami. NDC yang beranggotakan 6 orang perempuan dan 1 orang laki-laki tulen yang mengaku konsisten mencintai perempuan. Memang kebetulan anak-anak ini hampir semuanya belum punya pengalaman membacakan karya, entah itu puisi, cerpen, prosa atau apapun. Dan saya mau tak mau harus lebih giat meracuni mereka agar yakin bahwa mereka mampu melakukannya. Toh yang akan mereka bacakan adalah karya-karya mereka sendiri. Yang semestinya mereka tahu betul “feel” dari tulisan tersebut karenanya. Jadi tak akan banyak menemui kendala dalam membacakannya kepada khalayak.

Singkat cerita, saya meminta romo Nasarius Sudaryono yang seorang penggiat pertunjukan dan sudah sering melakukan reading bersama saya dalam beberapa produksi film indie sebelum ini, untuk membimbing teman-teman NDC belajar membaca. Saya buatkan satu group wa lagi yang khusus untuk kami dan Romo melakukan komunikasi jarak jauh, karena hingga tulisan ini diturunkan hal ini masih belum memungkinkan untuk dilakukan melalui telepati. Saya meminta kawan-kawan untuk mengrimkan voice note latihan pembacaan mereka di sini. Dan itulah luar biasanya Romo, yang walau (mungkin) sakit telinga mendengar cara kami membaca tapi tetap memberikan masukan berupa sanjungan yang membuat kami semakin pede dan terus memperbaiki bacaan kami.

Hingga tanggal 9 Maret 2018, kawan-kawan dari luar kota seperti Kediri, Semarang, Sidoarjo, Malang dan Jakarta mulai berdatangan. Mereka saya paksa untuk tak usah mencari kamar hotel dan tidur di rumah saya. Sebelumnya saya sudah meminta izin ke mereka karena di tanggal 9 ada pekerjaan, jadi saya serahkan kunci rumah pada mereka agar mereka bisa memaksimalkan latihan di rumah saya bersama Romo selama saya bekerja. Selesai kerja saya langsung pulang karena tak enak sudah memohon-mohon pada Romo untuk menunggu saya sebentar agar saya bisa melakukan latihan secara riil seperti yang lain. Jam 11 malam saya sampai rumah, dan dengan sisa-sisa tenaga yang masih saya punya, saya membacakan karya yang akan saya bacakan keesokan harinya, satu kali saja. Dikoreksi di beberapa bagian oleh Romo dan baru bisa mengobrol enak dengan semuanya setelahnya.

Sepeninggalan Romo, kami tak juga berangkat tidur walau lelah menumpuk sejak pagi belum rebah. Perempuan-perempuan luar biasa tamu saya ini masih saja “iyik” dengan pertimbangan “BESOK PAKAI BAJU APA???” yasalam. Akhirnya dikeluarkannya semua baju yang rencananya mereka kenakan di acara besok. Walau akhirnya hampir semua yang mereka bawa tak terpakai dan saya memberikan alternatif lainnya untuk mereka. Dan mereka bahagia. Lalu kami pergi tidur saat adzan subuh hampir berkumandang. (bagian terakhir ini sungguh salah, mohon jangan ditiru ya teman-teman)

Sabtu pagi pukul 7.30 (hampir) semuanya sudah bangun. Saya segera bersiap pergi karena harus melaksanakan tugas sebagai ibu dulu pada anak saya yang kebetulan hari itu ada GR untuk lomba drumband. Saya pasrahkan semua persiapan di lokasi pementasan pada 6 orang anggota NDC yang lain dan baru bisa bergabung lagi dengan mereka sore harinya. Entah tuan rumah macam apa saya ini. Tapi alhamdulillah mereka adalah kawan-kawan yang luar biasa dan hanya dengan komunikasi dengan hp saja mereka bisa menyelesaikan semuanya.

Sabtu, 10 Maret 2018 pukul 16.25

Setelah berjuang menembus kemacetan Jogja di Sabtu sore, saya berhasil sampai di KKF dengan sedikit lelah dan banyak ngos-ngosan. Tak enak rasanya pada kawan-kawan saya karena jam segitu saya baru bisa berkumpul lagi dengan mereka. Kami mulai makeup bersama-sama dan saling membantu satu sama lain. Mereka yang ribut dengan pemakaian bulu mata palsu sungguh menjadi hiburan bagi saya yang sedikit kelelahan. Sambil makeup saya menyempatkan mengobrol dengan Mia (MC cantik untuk acara kami) untuk membahas rundown acara secara lebih detail. Memberikan alternatif kata-kata yang bisa dia pakai untuk membuka dan menjelaskan tentang semuanya pada hadirin malam nanti.

Sabtu, 10 Maret 2018 pukul 18.00

Dari tujuh orang personil NDC cuma saya yang memutuskan untuk tidak mandi sebelum acara sore itu. Mohon maaf sebelumnya, karena saya tak menyiapkan peralatan mandi yang biasa saya gunakan. Dan ini hal remeh yang sungguh sulit untuk saya lakukan. Masing-masing dari kami mulai disibukkan dengan persiapan acara. Beberapa tamu yang merupakan kawan dekat kami mulai berdatangan. Sepertinya memang sengaja datang lebih awal agar bisa mengobrol dulu barang sebentar sebelum acara dimulai.

Saya mengobrol dengan mas Doni yang saya minta mengiringi pembacaan saya dengan permainan biolanya. Karena kesibukannya yang luar biasa dan kesibukan saya yang biasa-biasa saja tapi sering agak tak kira-kira maka kami baru sempat membahas ini beberapa jam sebelum acara. Sungguh jangan ditiru jika orang yang kalian pasrahi tak benar-benar seorang profesional dalam hal ini. Dan mas Doni ini adalah salah satu orang yang saya jelaskan lima menit saja sudah bisa mengaplikasikan apa yang saya minta. Terima kasih saya tak terhingga untuknya.

Sabtu, 10 Maret 2018 pukul 19.50

10 menit sebelum acara dimulai saya mengumpulkan semua teman-teman NDC dan pengisi acara. Saya memberikan beberapa kata penyemangat untuk mereka yang sebenarnya sudah sangat siap dengan materi yang akan mereka tampilkan. Karena Romo Nasar sempat mengabari tidak bisa hadir di acara kam,i membuat kami sungguh bersedih, tapi kami tetap harus melakukan yang terbaik untuk ini. Saya memimpin doa bersama dan melakukan “toss” bersama sebagai penutup. Betapa bahagia saya melihat kobaran api semangat di mata mereka. Dan entah kenapa saya yakin acara akan berjalan sesuai dengan yang sudah kami rencanakan.

Tepat pukul 20.00 mba Susi membuka acara dengan pembacaan puisi pendek miliknya sambil berjalan tenang dari belakang ke arah depan penonton. Koordinasi lampu dari gelap menuju terang membuat opening acara jadi cukup dramatis dengan puisi yang dibacakan oleh mba Susi. Penonton yang tenang sekali sejak awal pun bertepuk tangan tepat saat mba Susi selesai membacakan puisi dan disambut oleh MC cantik kami Mia dengan openingnya.

Ada yang bergetar di dada saya sejak tepuk tangan pertama. Mempertegas keyakinan akan acara yang akan berjalan lancar hingga akhir nanti. Acara dilanjutkan dengan bedah buku yang diisi oleh Alfin Rizal dan Bernado Bjeben. Semua berlangsung lancar, beberapa gangguan yang terjadi seperti mic yang tak nyala pun jadi tak berarti melihat performa kawan-kawan dengan bacaannya yang luar biasa.

Lalu tiba-tiba ada seorang tamu yang datang di sekitar pukul 21.45. Romo Nasar reading coach yang kami sayangi datang! Ini bahagia yang sempurna bagi kami bertujuh. Beliau memilih duduk di bagian belakang sambil menikmati pertunjukan yang masih berlangsung, Dan karena saya mendapat giliran terakhir membaca saya menemani Romo duduk di belakang penonton. Saya yang tak sempat mengikuti proses latihan teman-teman dengan Romo mendapatkan banyak kejutan dari pembacaan malam itu. Saya ceritakan ke Romo betapa saya ternganga menyaksikan cara mba Geriel membaca. Terpana dengan  logat anak-anak yang dimiliki mba Sitra tapi tak mengurangi keindahan bacaannya. Termangu dengan bacaan mba Gusti Hasta. Tertohok dengan bacaan mba Susi. Dan terdiam dalam senyum dengan bacaan mba Irza. Semuanya luar biasa dan Romo senang sekali mendengarnya.

Hingga tibalah giliran saya membaca. Saya membacakan tulisan saya di buku SMJ bab Selingkuh: The Universe Conspires Against Me. Sejak pertama memutuskan akan membaca tulisan itu hingga waktu pentas saya hanya berlatih sebanyak 2 kali. Itu pun yang pertama tidak sampai selesai. Bukan karena malas atau tak ada waktu, tapi sebanyak 2 kali itu pula saya tak mampu menahan air mata yang hampir jatuh di tengah pembacaan. Itu saja.

Benar saja, saat pementasan yang saya harapkan sejak awal hanyalah saya bisa mampu menyelesaikan The Universe Conspires Against Me hingga sampai selesai. Entah kenapa TUCA begitu menguras rasa ketika dibacakan, terutama bagi saya sendiri yang menuliskannya. Ah, tapi mungkin memang dasar saya saja yang terlalu cengeng sehingga begitu mudah menitikkan air mata hanya karena membaca. Anggap saja begitu, karena kalau mau dibilang dalam, tulisan saya ini tak ada apa-apanya jika dibandingkan tulisan teman-teman Dasters lainnya.

Akhirnya setelah setengah mati menahan air mata yang menumpuk di pelupuk mata, saya berhasil menyelesaikan membaca TUCA sampai tuntas. Sedikit terisak dan berhenti di beberapa bagian pembacaan saya rasa tak begitu masalah tapi justru menjadi “jeda” manis dalam pembacaan itu sendiri. mungkin lain waktu saya akan menuliskan tentang bagaimana dan mengapa “jeda” itu perlu dalam sebuah pembacaan karya. Doakan saja saya mampu menuliskannya. Bukan untuk mengajari tapi lebih untuk berbagi bagi kawan-kawan yang memang menyukai membaca karya baik cerpen maupun puisi.

Dengan selesainya pembacan dari saya maka selesai pula lah rangkaian acara peluncuran buku Syak Merah Jambu. Endro Gusmoro yang jadi satu-satunya anggota NDC laki-laki tidak ikut membaca karena merasa belum siap dan berjanji akan ikut membaca di lain waktu. Dia sudah menepati janjinya di acara Malam Minggu Merah Jambu, Menyeduh Cinta Tanpa Gula yang kami selenggarakan di Kediri 24 November 2018 lalu.

Terima kasih tak terhingga kami ucapkan kepada banyak pihak yang telah membantu terselenggaranya peluncuran buku SMJ. Alfin Rizal, Bernado J Sujibto, Al Farisi, room Nasarius Sudaryono, Yopie Kurniawan, Kedai Kebun Forum dan masih banyak lagi yang tak dapat kami sebutkan satu persatu. Masih banyak kekurangan dalam buku SMJ. Kami mohon doanya awal 2019 ini akan lahir adik kandung dari SMJ, semoga semua proses kelahirannya dilancarkan dan kami dimampukan berbagi banyak hal yang tak kalah mendebarkan dalam buku kedua nanti.