THE UNIVERSE CONSPIRES AGAINST ME
Kulihat dia mengemasi alat
musiknya. Sebuah benda bersenar gesek yang sangat disayanginya. Tak seperti
hari sebelumnya. Tak ada keceriaan di wajahnya malam ini, hanya dia berusaha
tak menampakkannya. Dia menghampiriku dan mengambil posisi duduk di kursi
samping dari meja kami yang bujursangkar, bukan di depanku seperti biasanya.
“Kamu sudah makan?”, tanyanya.
“Sudah dong..”, jawabku penuh senyum memandangnya
“Ok, kita jalan sebentar lagi ya, aku pamit sebentar sama anak-anak.”
Yang kujawab dengan anggukan dan senyum yang belum berkurang. Kuperhatikan saja dia dari meja kami. Mengobrol dengan kawan-kawan bandnya yang selalu saja menggodanya dengan banyak hal. Tapi begitulah dia, tak pernah bisa marah pada mereka yang sangat sayang dan disayanginya sejak lama. Kulihat mereka tertawa begitu lepas dan bahagia.
Tak sampai lima menit dia
kembali dan mengajakku pergi. "Aku pulang yaa, sampai jumpa.", kataku
dari jauh pada teman-temannya yang dibalas dengan lambaian tangan ramah mereka.
Di mobil dia menyetir saja dan tak lagi banyak bicara seperti siang tadi.
"Are you ok?"
Di mobil dia menyetir saja dan tak lagi banyak bicara seperti siang tadi.
"Are you ok?"
"Iya, kenapa?",
jawabnya sambil membetulkan kacamata
"Tak apa, hanya kurasa
kau lebih banyak diam malam ini, tak seperti siang tadi. Lelah kah?"
"Enggak...",
jawabnya sambil senyum melihatku sebentar dan mengusap tangan kananku.
"Keretamu jam 23 kan? Kita ngobrol di coffeeshop stasiun saja ya, supaya
tak buru-buru." Dan
aku hanya mengangguk penuh setuju dengan senyum di bibirku.
Setelah mencetak boarding pass, aku menyusulnya di coffeeshop kecil di bagian depan stasiun ini. Mendekatkan kursi dan duduk di sampingnya.
Setelah mencetak boarding pass, aku menyusulnya di coffeeshop kecil di bagian depan stasiun ini. Mendekatkan kursi dan duduk di sampingnya.
"Kenapa senyummu?", tanyaku.
"Kenapa senyumku?",
dia balik bertanya.
"Tak apa, tapi kuhitung
tak sebanyak kemarin dan siang tadi. Aku khawatir kau lupa membawanya malam
ini.", jawabku tersenyum padanya.
Tak ada jawaban dan wajahnya
kini jadi memuram. Dia memandangku diam, diam dan penuh kesedihan.
"Hei, kau kenapa? Ada yang salah dari yang kukatakan?", tanyaku kemudian.
"Hei, kau kenapa? Ada yang salah dari yang kukatakan?", tanyaku kemudian.
Dia membuang napas berat dan
akhirnya berkata, "Tak apa, hanya tetiba berat rasanya."
Aku menaikkan alis menunggu
lanjutan kalimatnya. "Ya, entah kenapa tetiba seperti ini rasaku. Seperti
tak yakin kapan lagi bisa menemuimu. Hmm.. Ah, ini salahku, tak seharusnya
merasa seperti ini, bukan?", mengakhiri kalimatnya dengan kalimat tanya.
"Hmm.. Kau kenapa? Kau
ingin aku tinggal lebih lama? Kau tahu kan, aku harus kembali ke sana?",
jawabku tetap dengan senyum walau tak semanis sebelumnya.
"Ya, aku tahu. Maka
kataku tak seharusnya aku merasa begitu. Hanya saja...", tak dilanjutkan
kalimatnya dan membuang muka ke arah lain.
Kucari wajahnya, menariknya ke
arahku dan berkata, "Sayang, cemburu kah yang kulihat di matamu itu?".
Kupandang dalam matanya, dia terdiam saja, ada sedih yang menggenang di sana. “Seingatku
baru kemarin kau katakan kita harus sadar dengan kondisi kita bukan? Dan
setengah mati aku menipiskan rasa yang ada sebelumnya, bahkan sempat berpikir
untuk menyudahinya. Karena tak baik rasanya menyakiti hati sendiri. Lalu
sekarang kau bersikap begini.”, lanjutku pelan dan penuh kehati-hatian. Sungguh
tak ingin menyakiti laki-laki yang begitu kusayangi.
Dia mengeluarkan sebatang
rokok milikku dan mulai menyalakannya. Menghembuskan asap yang berat dan mulai
berkata, “Aku orang yang sangat realistis, kau tahu itu. Maka kukatakan hal itu
siang lalu, hanya mencoba tetap menjaga kesadaran kita pada euphoria yang ada
di depan mata. Tapi ini apa, aku bahkan tak dapat mengenali perasaanku sendiri.
Ya, ini salahku memang, laki-laki tak seharusnya begini.”
“Aku mengajakmu bicara begini
bukan untuk mencari siapa yang salah. Please, kita sudah sama-sama dewasa. Tak
pantas rasanya berbicara hanya untuk mencari-cari salah siapa. Coba katakan
padaku, seperti apa rasamu. Kecuali kau memang tak ingin aku tahu.”
Dia memandang dalam ke mataku,
ada sayang yang dirundung sedih di sana, “I love you.”, sambil menggenggam
tanganku kemudian menunduk tanpa melepaskannya.
Aku diam, tak tahu harus
berkata apa. Mungkin begitu pun dia. Tetiba sesak rasa dada ini. Dinginnya
udara seperti tak lagi ada artinya saat kudengar kata-katanya. Ada yang hancur
lebih dalam lagi ketika mata kami beradu. Sayang yang begitu sulit digambarkan.
Rindu yang entah bagaimana harus diselesaikan.
“Sayangku..”, kusentuh lembut
pipi kirinya dengan tangan kananku. Dia memberiku senyum yang jika kau lihat
kau akan tahu betapa dia tak ingin aku merasakan sakitnya.
“Apa menurutmu ini begitu
mudah bagiku? Jika kau melihatku baik-baik saja dan tampak bahagia nantinya di
sana, percayalah aku orang yang pantas mendapatkan piala Oscar setelah Marlon
Brando dan Alpacino. Bahwa yang kau rasa sudah lebih dulu kupunya. Bahwa kisah
kita tak mungkin kubagi dan aku harus menguatkan hati menyimpannya sendiri.”,
lanjutku.
“Baru kemarin kau katakan
padaku bahwa kita harus bahagia. Aku bahkan sempat percaya bahwa kau memang tak
memiliki rasa yang kurasa. Sempat berpikir untuk menghapusnya saja supaya bisa
merasakan bahagia yang kau sebutkan. Karena aku selalu siap menghadapi apa pun,
hanya tak punya cukup waktu untuk rasa sakitnya.”
Dia diam saja mendengarkanku
berbicara. Ada genangan tipis di sudut mataku yang kutahan sebisa mungkin agar
tak mengajak kawan-kawannya. Tapi kemudian naluri laki-lakinya terbangunkan.
Dibangunkannya tubuhku dan dipeluknya erat sekali. Sambil berkata di samping
kepala, “Kau tahu kunci dari bahagia? Sungguh hanya sesimpel memiliki kesehatan yang baik dan ingatan yang buruk. Tapi kau, kau adalah satu-satunya hal di ingatanku yang
aku tak pernah ingin lupa. Dan aku sungguh rela merasakan setengah bahagia
saja.”
Tetiba dia menyanyikan Glow
milik Frau, suaranya yang merdu mengalun lirih di telingaku, sambil memeluk dan
mengayun tubuhku pelan sekali.
Hold me, you shall never ever
see me
Blankets will not hesitate me
Flowers shant even wake
Kiss me, this the last time
you may see me
This the last time light shall
harm me
I shall cry myself to death
Funny, how you never showed
your love to me
Lovely, oh the lights I can
see
It’s gleaming in my eyes like
when you
Burned me, tear my skin off
and leave me
This the last time you may
hold me
This the last time I shall say
good bye
Aku menangis begitu saja di
peluknya. Luruh sudah semua ketegaran yang kupunya. The universe conspires
against me.
Jogja, 24 Januari 2017
catatan kaki:
lirik lagu Glow by Frau
pict by Google