Senin, 06 Desember 2010

Entah ..


Lagu ini,, mengingatkanku padamu.

Mengingatkan akan caramu membuatku tersenyum dan hampir meratap kebingungan menahan air mata yang hampir jatuh karena tawa yang tak tertahankan. Bagaimana kau melakukan semua itu yang ku tak pernah tahu. Bagaimana kau rubah sendu menjadi haru yang entah. Bagaimana kau tak pernah marah saat kumemaki dan menyumpah segala yang ada dan tak pernah bisa kurubah. Entahlah ..

Dingin ini,, buatku rindu.

Kau tahu betul aku yang sangat membenci segala hal yang membuatku mudah jatuh rindu. Rindu itu seperti hujan deras yang terlalu. Kau menyukai rintiknya yang jatuh di tiap inci kulitmu namun kau sangat membenci pakaianmu yang jadi basah tak bisa tidak. Dan kau pun jadi begitu gelisah, karena rindu memang tak pernah lelah mengucurkan gundah dalam sepi yang entah. Entahlah ..

Kopi ini,, mengingatkanku pada suatu waktu.

Dimana kita berdua sangat menikmati setiap hembusan asap dari nafas yang resah. Berpuntung-puntung rokok dalam asbak yang tak pernah sempat rapi di meja kami. Berlembar-lembar gerah yang memang setia tak merubah arah. Bertumpuk-tumpuk jengah yang tak pernah rela berbaik mengalah. Entahlah ..

Kesendirian ini,, buatku tak suka jauh darimu.

Segala sepi yang menari sunyi. Segala bunyi yang bernyanyi penuh arti. Segala perih yang menggelayut lirih. Ku tak suka menikmatinya sendiri. Kau tahu indahnya tak pernah terbeli. Tapi ku benci kau tak ada di sini dan melengkapi semua ini. Perih yang entah. Entahlah ..

Senin, 20 September 2010

A Letter for God


Ku berjalan menyusuri hujan

Menghitung rintiknya dan memejamkan mata

Membiarkannya terjatuh satu per satu dan larut dalam nelangsa

Tuhan, Engkau sedang dimana .. ?



Apa yang telah ku lakukan hingga Kau tampak begitu jauh?

Teganya Kau biarkan ku sedih begitu luruh

Hingga berpeluh ku menahan hati penuh gemuruh

Tak lagi mampu ku tahan mataku tak mengaduh


Mungkin aku terlalu banyak mengadu padaMu

Maafkanlah Tuhan, aku ini kan hanya seorang perempuan. Tak banyaklah yang bisa kulakukan di usia ku yang sudah hampir separuhnya kuhabiskan ini. Segala sakit dan segala obat telah banyak kulahap. Segala rasa dan efek sampingnya sudah habis kukecap. Segala perih dan obat merahnya pun hampir semuanya pernah tertoreh dan meninggalkan bekas gelap. Apa aku terlalu banyak mengeluh, Tuhan?


Tuhanku, aku ini rindu berkeluh kesah padaMu

Tak bisa ku percayakan kisahku pada orang-orang tak tentu

Tak rela aku membaginya pada orang bermulut seribu.


Coba dengar detak jantungku, Tuhan

Dia melirih tak mau pulih

Aku kecil hati tak lagi dicintai

Nafasku hampir terhenti karena kalimat yang menusuk hati


Aku benci menjadi rapuh begini, Tuhan

Ku tak suka mengecewakanmu dengan bersedih begitu

Tapi ku tak tahan merasa begitu terhina dan tak berguna

Kan boleh ku merasa begitu, Tuhan?


Aku tak suka cara dan kata-katanya

Aku tak bisa selalu mengalah padanya

Aku tak mampu menjadi yang terbaik baginya

Dan aku tak rela merasa begitu tersiksa


Tuhan, Kau masih di sana?

Maafkan aku yang terlalu banyak mengeluh

Tak pantas memang aku ini meminta pelukMu yang begitu teduh


Yang kubutuh hanya seteguk penawar

Agar luka tak membakar hingga ke akar

Agar hati terobati dan pulih kembali

Agar dia tahu aku ini juga ingin dihormati


Kukirim ini dengan perangko balasan, Tuhan

Semoga Kau berkenan membalasnya jika tak sedang banyak urusan

Atau Kau kirim amplop kosong pun ku sudah senang

Karena itu tanda Kau membacanya dan tak ingin membiarkanku putus harapan

hanya saja Kau sedang sibuk dan tak sempat menuliskannya


Terimakasih Tuhan

dan kuharap Kau takkan bosan ..


faithfully yours

-- vie --

Selasa, 31 Agustus 2010

Hariku dan Marahmu


Kunyalakan Dunhill Menthol Lights ke delapan dalam satu jam ini. Selama itu pula lah aku terduduk di belakang meja kantorku dan berusaha berhenti memikirkanmu dengan menyelesaikan beberapa jurnal yang tak kunjung selesai.

Matahari mulai memerah di sisi barat, waktu menunjukkan pukul 16.24 dan ku masih saja belum bisa menenangkan diri dari rasa tak nyaman dengan pembicaraan kita semalam. Pertanyaan dan pernyataan tak suka yang kau lontarkan. Pandangan mata curiga yang kau siratkan. Dan laku tak bersahabat yang kau tunjukkan. Kemana arah semua itu?

Apa aku menyakitimu, sayang? Bagaimana kuharus menjelaskannya? Kumohon berhentilah sejenak dengan egomu. Biar kudinginkan marahmu. Ku sedih sungguh melihatmu begitu. Biar kupeluk hatimu, dan dengarlah getar rasaku yang tak pernah berubah untukmu. Apa itu pun terlalu sulit untukmu dalam marah yang tak tentu arah begitu?

Kumatikan rokokku dan meminum teh hitam yang sudah dingin dari cangkir di sebelah kiri laptopku. Getirnya bahkan terasa lebih sempurna dengan semua ini. Rindu yang tak lagi bisa diminta untuk bersabar dan gelisah yang menghabiskan sisa ketegaran yang kupunya, semua ini ... bagaimana ku harus menyampaikannya .. ?

Untuk kesekian kalinya kumerasa sangat tak nyaman di tempat yang paling kusuka di sudut ruangan ini. Sedih yang membabi buta tak tahulah aku bagaimana mengakhirinya. Kuambil lagi sebatang rokok dan menyalakannya. Menghisapnya dalam-dalam dan berharap resah ini ikut terserap habis saat ku menghembuskannya.

Aku berhenti mengetik dan meraih hp dari dalam tasku. Bahkan gerakku pun tak sebaik biasanya dalam tangan yang bergetar seperti ini. Kulihat layar yang tak bergerak sama sekali seiring tak adanya telepon atau pun sms yang masuk.

Kuletakkan kembali hp tersebut dan meletakkan rokokku di asbak, kumulai menutup muka dengan kedua tanganku. Bukan menangis, tak mungkin kubiarkan air mata ini mengalir seenaknya di tempat yang tak seharusnya. Kuusap-usap mukaku dan kupijit ringan mataku. Ku sedang sangat butuh dipeluk.

Sayang, apa tak bisa kita saling mendengarkan? Mencoba bijak dalam keadaan yang tak menyenangkan. Menenangkan hati agar hilang semua rasa tak indah ini. Berbicara pelan tanpa sinis dan menyelesaikan semuanya tanpa tangis. Aku selalu menempatkanmu di urutan teratas dalam rencanaku, dan engkau selalu menjadi harapan terbaikku.

Tak sadar rokokku telah habis terbakar sampai ke pangkal. Kunyalakan lagi yang baru dan aku salah memposisikan rokok tersebut di bibirku, aku membakarnya terbalik. FUCK!! Mengapa selalu saja tak bisa ku berkonsentrasi dalam keadaan seperti ini. Dan aku sangat membencinya. Kumatikan rokok tersebut dan mulai membereskan perkakas kerjaku. Memasukkannya ke dalam tas kemudian mengambil hp dan mengetik,
“Sayang, masih marahkah kau?
Mendekatlah padaku ..
Biar kugenggam tanganmu dan kubuang ragumu..
Karena hanya ada kamu untukku...”

Karenamu


Pagiku membiru ..
Kubuka mata dan susah payah kuhirup adamu ..
Dimana kamu .. ? Aku mencarimu di sudut-sudut mimpiku
Aku mencarimu di tiap kedip mataku, bahkan di riuhnya detak jantungku

Kamulah malam, yang melirihkan nafas dikala dingin menghujamkan keinginan-keinginan
Menapaki menit yang memilukan dan menyesap setiap detik yang kurindukan
Menabur mimpi-mimpi kita, memunguti kembali kenangan-kenangan yang tercecer hampir sia-sia
Memaki diri sendiri akan keterbatasan yang tak pernah bisa kusempurnakan

Selalu berusaha tak mengharapkan hadirmu
Ingin bisa menenun kembali harapan tersilapkan
Menanti sore datang dengan rindu yang menghangatkan
Mengikuti kemanapun burung-burung itu terbang membawa hatiku yang luka tak berpenawar

Bagaimanapun tak kuinginkan adamu
Bagaimanapun tak kuijinkan hati merindumu
Dan bagaimanapun tak kubiarkan diri memikirkanmu
Seperti itu pula lah mereka membawamu padaku

Aku nelangsa melewati hari tanpa kau disana
Selalu berusaha menyembunyikan isak yang semakin menyesak
Mencoba mengisi hampa hati dengan udara walau kutahu itu berbeda massa
Hanya bisa menciummu di ujung malam dan mencuri memandangmu sekejap saja
Itu sudah membuatku bahagia

That I Would Be Good



That I would be good
Even if I did nothing
That I would be good
Even if I got a thumbs-down
That I would be good
If I got and stayed sick
That I would be good
Even if I gained ten pounds


That I would be fine
Even if I went bankrupt
That I would be good
If I lost my hair and my youth
That I would be great
If I was no longer queen
That I would be grand
If I was not all-knowing


That I Would Be Good Lyric by Alanis Morisette

We are not perfect creatures, and we do hope that we would be good, fine, and loved despite our imperfections and flaws. Hal ini sedang menyita banyak waktuku untuk berpikir saat-saat ini. Bahwa memperjuangkan kebahagiaan diri adalah hal simple yang tidak mudah diwujudkan.

Mengerti itu tak akan pernah terbeli, tapi mewujudkannya pasti mengajak serta hati, dan hati pun punya pandangan yang juga tak terbeli. Mencoba mengerti akan sesuatu yang tak disukai. Mengerti bahwa sesuatu memang sudah semestinya terjadi. Dan mengerti hal-hal yang tidak semua orang bisa mengerti. Mencoba berbagi hal-hal yang tak terbeli memang tak pernah manis, dan aku mencoba mengerti. Mengertilah dulu hal itu.

Hal apa dariku yang kau tak suka? Bagian mana dari cara berpikirku yang kau tak sependapat? Jalan mana dari ruteku yang kau tak bisa seirama? Apa tak bisa kita membicarakannya? Apa tak mungkin kita cari celahnya? Apa tak suka aku jika kau utarakan dan kita cari jalan lainnya? Aku orang yang sangat mungkin untuk menerima. Tak pernah kubuat jalan buntu di ruteku. Tak akan kumatikan teleponku sebelum selesai bicaramu.

You were my earth, my number one priority. I gave my love to only you, anything you'd ask of me I would do. Kau tahu betul aku yang begitu. Jangan pernah menganggapku tak berusaha untuk semua itu. Bahkan inginku hampir tak pernah lagi kuperjuangkan, untukmu, ya untukmu.

Kumohon padamu, genggam erat tanganku
Jangan lepaskan hingga kau dapatkanku dalam pelukmu
Jangan sekali pun menoleh sebelum kau yakin aku telah bersamamu
Ku takut tenggelam dalam sungi air mata yang mengalir begitu derasnya
Dan kau tak ada di sana ..

Selasa, 15 Juni 2010

Dikhianati Hati Sendiri


Ku duduk diam, sendiri, di taman samping kamarku. Berusaha menyembunyikan mataku dari tatapan bulan pucat yang sejak tadi melirik curiga padaku. Bahkan ikan-ikan di kolam pun mulai berkumpul menjadi gerombolan ikan-ikan penggosip, dan gilanya mereka melakukannya di depan mataku. Dasar tak punya sopan santun!

Apa tak bisa kalian membiarkanku menikmati kalian yang lebih ramah? Memang apa yang salah dengan berdiam menyendiri seperti ini? Toh juga aku tak mengganggu kalian. Yang kulakukan kan hanya duduk saja dan kadang tersenyum, kadang termangu juga, dan ya paling sesekali memejamkan mata dan menarik nafas panjang serta mengeluarkannya pelan-pelan saja. Aku bahkan tidak membuat kegaduhan, bukan?

Ah, seandainya saja kalian tahu galau ku. Ini memang bukan tentang hidup dan mati. Bukan juga urusan politik Negara yang tak pernah ada titik terang. Apalagi urusan gusur menggusur tanah rakyat yang sedang marak di setiap berita tv dan halaman surat kabar pagi.

Ini tentang hatiku yang hilang. Hatiku dicuri orang! Yang terakhir kuingat hanya aku menyimpannya sangat rapi di tempat berkunci tanpa duplikat. Namun tempo hari kunci itu terlepas saat ku berjabat tangan begitu erat dan menatap matanya begitu dekat. Ya Tuhan, bagaimana aku bisa menjelaskan semua ini pada kalian!

Ini sungguh mengganggu. Kuingatkan, jangan sampai terjadi pada kalian. Bahkan ini lebih menyiksa dari virus flu yang membuat kalian tak bisa memejamkan mata bermalam-malam.
Dimana dia, hatiku yang telah rela dibawa dan mengkhianatiku begitu tega. Kumohon padamu, siapa saja yang menemukannya. Bujuklah ia, supaya mau kembali dan menemaniku menikmati hening ini.

Supaya bisa kutitipkan senyum termanisku untuknya setiap pagi
Dan kau tak pernah ingin melewatkan sekedip pun menatapku di tiap helai waktumu
Tapi kumohon, kembalikan hatiku..

Menanti Hujan Reda


Hujan sore ini begitu derasnya. Ada classic rock mengalun pelan dari sebuah piringan hitam. Dan tempat ini terasa begitu nyamannya saat hujan. Lampu-lampu kecil yang tak satu pun yang begitu terang. Dan kakakku menghitung ada 27 jam disini dan percaya atau tidak tak satu pun dari mereka tepat.

Baru semalam kami mengunjungi tempat ini untuk pertama kalinya. Dan entah chemistry atau apa namun kami segera saja jatuh cinta padanya. Memesan teh poci, dan tak sabar aku menuangnya ke dalam cangkirku. Dan benar saja, aku begitu menyukai gemericik teh yang mengalir dari poci ke cangkirku, yang serta merta membuatnya sedikit bergetar di atas piring kecilnya. Gosh.. kubegitu menyukai moment ini!

Bunyi ini mengingatkanku pada tahun-tahun lalu. Dimana aku dan ibu masi mempunyai banyak sekali waktu untuk saling memeluk tanpa sungkan karena umurku yang sudah tak pantas lagi meminta peluk yang begitu mesra padanya. Kumerindukannya. Hanya diam dan memandang dalam matanya. Menikmati hangat peluk dan lembut hembusan nafasnya. Memiliki cintanya utuh tanpa batas dan cela.

Namun tempat ini menimbulkan kerinduan yang aneh. Ku tak ingin membagi rindu ini. Ku ingin memilikinya untukku sendiri. Seorang temanku berkata bahwa ketika dia rindu pada seseorang atau sesuatu, dia tidak akan menyampaikannya pada siapapun. Dia akan menyampaikannya pada Tuhan nya. Kurasa memang rindu tidak selalu untuk disampaikan atau dibagi pada siapa pun. Bagiku rinduku hanya milikku. Menikmati setiap desir yang hadir di hatiku. Menikmati setiap senyum yang tersungging di wajahku. Dan menikmati menahan setengah mati untuk segera memencet nomor dan menelponnya.

Menanti hujan ini reda begitu hening rasanya. Menanti saat-saat kau mengirimiku pesan. Menanti ketika kuharus berhenti sejenak dan menarik nafas untuk mengatakan sesuatu yang ku tak suka. Seperti kau menanti saat air matamu hampir jatuh dan kau tak menginginkannya terjadi.

Ku menanti hujan ini reda namun juga tak pernah ingin mengakhirinya..
Jangan sayang, aku menyukainya..
Biarlah dia hadir untuk beberapa saat lagi saja..
Kau tahu ku begitu menyukainya..

Tak Ada Gantinya


Bagaimana kubisa berpaling darimu
Sekian lama kumencari separuh jiwaku
Kumau menunggu
Tak pernah berhenti
Sampai suatu saat nanti kau kan menyadari
Kuingin kau tahu tak kan ada habisnya
Kumasih miliki cinta melebihi yang kau kira
Hanyalah senyummu yang menghapus rinduku
Telah lama tak ku jumpa menghilang dariku
Akan kulakukan asal kau kembali
Ku tak sanggup sendiri lebih lama lagi ..


Lyrics Tak Ada Gantinya - Ipang

Lagu ini referensi dari Seno Merah, saudaraku yang paling .. paling lah pokoknya.
Pertamakali mendengarnya terasa biasa di telinga ini, namun setelah kutelaah dengan baik kata-kata nya yang di bawakan dengan sangat "gila" (kalau boleh kumenyebutnya begitu) oleh seorang bernama Ipang, entah kenapa lagu ini bisa membawaku ke rasa yang sudah lama ku tak merasakannya.

Mencoba mengatakan sesuatu melalui sebuah lagu. Menyampaikan rasa yang tidak biasa dengan cara yang semua orang bisa rasa. Menyenangkan rasanya bisa kembali mencicipi rasa ini. Teremangu-mangu dan hampir tak bisa menggambarkannya. Menciptakan kembali rindu akan sesuatu, sebuah tempat, sebuah rasa, bau atau mungkin seseorang yang pernah kita rindu.

Dan aku salah satu penikmat dari semua itu. Mendengarkannya dari headphone sambil menulis. Dengan matahari yang menerpa wajahku di sela-sela bambu di sore yang hangat dan cerah. Sambil meminum teh dari cangkir kecil berwarna putih di sebelah kiriku. Dan asbak yang hampir penuh dan abu rokok yang berserakan di sekitarnya.

Eternity. Begitu aku menyebutnya. Seperti rasa yang kusuka saat memutar nomor telpon dari telpon rumah model lama. Saat kita harus memutar setiap angka dan menunggunya berputar kembali ke posisi awal untuk dapat melanjutkan dengan angka berikutnya. Dan kemudian menunggu seseorang di ujung sana mengangkatnya dan mengatakan "Halo .. ?"

Entah kenapa kubegitu menyukainya. Seperti ku sangat menyukai bau dari kopi, walau ku tak begitu suka kopi. Namun menikmati kesendirian dalam senyap dengan banyak hal yang kusuka, seperti membaca kembali masa lalu dari sebuah surat yang ditulis oleh entah siapa. Menikmati membaca buku yang kusuka di kamarku dan tersenyum-senyum atau tiba-tiba menangis sendiri karenanya. Pergi menonton film di bioskop sendiri tanpa ada gangguan teman yang mengajak mengomentari film tersebut di tengah-tengah film itu diputar, dan mengalami rasa yang sama saat aku membaca buku. Ku bahkan tersenyum-senyum menuliskannya.

Aku menyukai hal-hal kecil "unpredictable" yang kurasa.
Aku menyukai kenyamanan yang kubuat dan kunikmati (kadang) sendiri.
Aku menyukai waktuku yang yang merindumu.
Aku menyukai saatku yang menginginkanmu.
Aku bahkan menyukai detik-detik sendiriku.

Tapi ku tak suka kau yang jauh dan tak tersentuh ..
Sungguh ..

Untittle


Jangan pernah tanyakan, apakah aku mencintaimu
Sampai rambutku memutih pun kau tahu rasaku..
Pernah kukatakan padamu, aku begitu sayang padamu
Dan kau tahu ku tak pernah bermain dengan rasaku

Ku ingin melihat senyummu di pagi hariku
Ku selalu ingin menatap sayupmu di malamku
Ku suka menikmati teh buatanmu di soreku
Dan selalu rindu duduk berdua denganmu di berandaku

Jangan pernah ragukanku, sayang..
Menunggumu seumur hidup pun akan kujalani
Walau kau ragu akan waktumu
Sampai langit runtuh tetap ku tunggu

Ku tak suka melihatmu tersedu begitu
Ku rasakannya dalam setiap desir darahku
Ku dapat rasakannya dari kedipan matamu yang begitu pelan
Bahkan ku dapat rasakan dari teh gelap pucat yang kau buat

Ingin kunanti pagi dalam dekapmu
Membaca buku dan menemanimu dalam sibukmu
Memutar nomormu dan menunggumu mengangkat telepon di ujung sana
Dan sangat ingin bisa diam dan menatapmu saja

Untukmu kuserahkan hatiku
Jaga dengan senyum termanismu
Menyimpannya di tempat ternyaman dalam dirimu
Agar sering kau menengoknya dan merasa bahagia..




* dedicated to my best friend's wedding Otto Muharrom and Cherish Muharrom
Happy wedding guys, am happy for you, both of you!

Jumat, 11 Juni 2010

rindu


Matahari terselimut mendung
Dengan secangkir teh hitam di meja kulihat dirimu begitu merana
Sedang apa kamu di sana?
Merajut harap, mengurai arti
Menata hati dengan sangat hati-hati
Kan kuhapus ungunya waktu
Kan kuubah menjadi jingga yang menyala
Kau tahu ku tak pernah mau menyerahkan harap pada sesuatu yang membuatmu termangu dalam senyap
Aku tahu rindu itu
Dan kau tahu siksa ini
Selalu kuingatkan padamu sejak awal, bukan?
Tapi kau tak pernah dengarkan
Lalu bagaimana kuharus menyelesaikannya?
Mendung telah memudar
Dan teh hitammu tak lagi begitu tawar
Kau tahu di mana kusimpan hatiku
Dan kan kutunggu kau menjemputnya sore nanti
Tuk melihatmu tersenyum lagi
Dan kembali merasai manis kisah ini
Ku tunggu kau sore nanti ..

Kamis, 10 Juni 2010

Bulan Berwarna Biru

Dan di sini lah aku..
Duduk termangu dalam haru
Beralaskan perih dan bersandarkan pilu
Hanya terdiam menghitung air mataku yang jatuh satu per satu
Menggenggam erat setiap kata-katamu
Menjaganya supaya tak lepas dan kemudian merangkainya dalam bingkaiku
Menyisir setiap helai nafas yang kuhembus dengan berat hati
Mengayunkan langkah yang kutiti sendiri
Dan memohon setengah mati supaya air mata ini tak terjatuh lagi..

Kemudian di sini lah kita
Hanya berdiri saling tatap tanpa kata
Mencoba merangkai kata dengan bahasa kita
Menikmati renung yang luar biasa
Mengecap pahit dengan sangat biasa
Membisikkan sedih yang kau tak pernah kira
Hingga menitik peluh dari sudut mata yang begitu alpa

Dan kita pun menangis sejadinya
Melirihkan rintik hujan yang jatuh
Mencairkan dingin yang angkuh
Dan meluluhkan bumi yang kian rapuh

Aku sedih melihatmu begini
Melalui malam-malam dengan hati yang iri
Menambatkan harap pada langit kelabu dan bulan berwarna biru
Sambil tersenyum sendu berjubah rindu

Bukan inginku ..

Bukan inginku ..