Demi binar itu, aku rela menelan saja lanjutan kata yang
sudah ada di ujung lidah
Menunggumu menyelesaikan senyum
Dan menanti kejap di matamu yang bintang mana pun tak
sanggup menandingi
Hampir saja kulupa cara bernapas karenanya
Menyimakmu berbicara seperti hujan yang berderai pelan
dengan jeda ritmis sesorean
Membaur sempurna dengan wangi tanah yang basah
Yang memaksa banyak makhluk untuk berhenti ber-apa saja dan
pasrah menikmatinya
Bahkan terlalu sayang rasanya melewatkan satu kata saja dari
cara bicaramu yang begitu mempesona
Demi helai rambut yang jatuh di wajahmu saat kumenatapmu
Aku rela menunda meminum teh yang sudah kugenggam cangkirnya
Menantimu menyibakkan rambut ke belakang kepala
Dan melihat mereka kembali jatuh tak beraturan begitu saja
yang entah bagaimana tak juga membuatmu kesal karenanya
Mendengar gesekan nada dari biola yang kau alunkan di sesela
kebersamaan kita
Seperti mengingat lagi sebuah masa yang sudah terlalu sulit
kumengingatnya
Saat sepasang telinga yang tanpa sengaja mendengarnya, tak dapat
melawan keinginan mata untuk memejam, dan tenggelam begitu khusyuknya
Bahkan senyum bahagia yang lama tak kujumpa hadir begitu
saja tanpa harus kuminta
Tahukah kau, hampir setiap napas yang kuhela
Setiap kedipan kedua mata yang membuatku tetap terjaga
Bahkan setiap desir yang terjadi di dalam dada
Tak pernah sebegitu menyiksa di malam-malamku sebelumnya
Tapi aku begitu rela menjalaninya
Menjaga rasa yang ada tetap utuh di dalam sana
Merindukanmu hampir di setiap detik yang tega berlalu tanpa
memberiku waktu sebentar saja untuk tak mengingatmu
Jatuh cintaku yang tak kau tahu, atau kau yang memang tak mau tahu?
Jatuh cintaku yang tak kau tahu, atau kau yang memang tak mau tahu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar