Kamis, 19 Desember 2013

Fallin Love at the Coffee Shop

Sore itu coffee shop yang kusinggahi untuk pertamakalinya di kota ini sedikit ramai pengunjungnya. Aku memilih duduk di pinggir, sedikit menjauh dari keramaian. Aku tak pernah suka pada kota ini. Dengan segala hingar bingar dan keangkuhan orang-orangnya. Tapi aku suka menyendiri di keramaian seperti ini. Aku bisa menciptakan duniaku sendiri tanpa harus peduli dengan tatapan orang sekitar yang memandangku dengan aneh. "I just don't give a shit!"

Aku sering melakukan ini. Pergi ke coffee shop sendiri saja, menyelesaikan beberapa pekerjaan, menulis, atau sekedar menikmati sore dan kawan baiknya, kopi. Senja itu kubawa beberapa sisa pekerjaan yang harus segera kuserahkan esok. Membuka journal dan beberapa e-mail, mengetik dan menjawab agenda-agenda yang harus diselesaikan seminggu ke depan. Menyalakan rokok dan menghisapnya sesekali sambil mengetik. Terbayang seperti apa berantakannya meja dan keyboardku? Ah, aku menikmati ini. Kesendirian yang sama sekali tak sepi.

Kebiasaanku adalah mengikat rambutku yang terurai baik ke belakang agar terkurangi keriuhan dengan segala pekerjaanku. Dan itu sering kulakukan di tengah-tengah aku mengerjakan semuanya. Setelah selesai mengikat rambut, kupakai kembali kacamata bacaku. Tak kusadari di ujung ruangan ini ada seorang lelaki yang sudah lama memperhatikanku. Dia duduk sendiri saja. Membaca buku dan merokok. Melirik ke arahku sesekali untuk kemudian melanjutkan membaca bukunya. Dia berpakaian santai, memakai celana jeans warna gelap, polo shirt, dan sepatu keds berwarna navy.

Di mejanya terhidang secangkir kopi hitam. Rokoknya menggantung di asbak yang lebih rapi dari milikku. Dan saat itulah. Saat aku berhenti mengetik untuk berfikir sejenak tanpa merubah jari-jariku dari keyboardku. Saat ada seekor burung yang hinggap di sisi luar jendelaku. Saat dia berpaling dari bukunya dan menatapku diam-diam. Setelah mataku terpejam beberapa saat dalam penat. Mata kami bertemu di sebuah sudut yang sudah kulupa cara menghitungnya dengan ilmu pitagoras yang diajarkan sewaktu duduk di bangku SMA. Melalui sebuah cermin yang ada di salah satu dinding tempat itu.

"Deg!" Jantungku berhenti sepersekian detik karena nafasku yang tertahan. Aku gelagapan salah tingkah. Kembali menatap layar laptopku sambil membenahi kacamataku. Berusaha mengetik sesuatu dan gagal dengan sukses, konsentrasiku buyar. Masih terlintas bagaimana matanya "tersenyum" melihatku tadi. Ah, manisnya! Tak bisa kutahan senyumku menuliskan ini. Dan kawanku Dita yang duduk di sebelahku saat ini memakiku, "Mbak, sehat?" hahaha...

Biar kulanjutkan. Dapat kulihat dari sudut mataku, laki-laki itu masih saja mencuri tatap ke arahku sesekali. Dan aku sama sekali tak berani melihat ke cermin di dinding tadi lagi. Kucoba setengah mati menyelesaikan pekerjaanku. Keadaan ini membuatku hanya mampu menyelesaikan 2 e-mail lain dan sudah, aku berhenti bekerja. Bahkan rokokku tak mampu membantuku berkonsentrasi lagi.

Kututup laptopku, membereskan journalku yang berserakan di meja dan memasukannya ke dalam tas. Mejaku terlihat sedikit lengang sekarang. Kuambil sebatang rokok lagi dan mulai menyalakannya. Aku menatap jauh ke luar jendela, dan betapa sulit untukku tak tersenyum saat itu.

Tak lebih dari 2 menit sejak kunyalakan rokokku, lelaki itu menghampiri mejaku dan berkata dengan sopan, "Maaf, apakah nona menunggu seseorang? Jika tidak, maka bolehkah saya duduk semeja denganmu agar saat pulang nanti saya bisa memiliki senyum yang sama dengan yang kau punya saat ini?"
Damn'! Mukaku merah seketika. Entah harus menjawab apa namun tak mampu untuk menolak manisnya, aku mengangguk dan mempersilahkannya dengan salah tingkah.

Kuminum coffee latte ku yang sudah dingin, sambil mataku memandang ke arah lain. Matanya tak berhenti menatapku. Tuhan, rasanya ingin ditelan bumi. Dan dia mulai berkata, "Saya menunggumu cukup lama dengan pekerjaanmu. Berharap agar kau segera selesai dan saya dapat duduk di sini." Aku hanya tersenyum, tak tahu harus bagaimana. Dia melanjutkan, "Maafkan ketidaksopananku, tapi aku akan menyesali hidupku jika sampai kubiarkan kau pulang tanpa kuketahui namamu." Dia mengulurkan tangannya, "Hans..". Kusambut tangannya, "Ann.."

Dia orang yang sangat manis. Tak cukup secangkir kopi untuk menceritakannya. Namun manisnya cukup untuk menggantikan peran gula di kopiku. Bagaimana kopimu? Selamat hari Minggu.

Jakarta-Jogja 21 Desember 2013

2 komentar:

  1. Dear, Ann

    Kopi saya sudah dingin dan selamat hari minggu

    #susah sekali komen disini..atau mungkin saya yg sudah gaptek dengan yg namanya blog

    Salam kenal

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hello, Satria

      Jangan risau, kurasa membaca dan menulis membuat kopi kita tetap nikmat dalam cuaca terdingin pun :)

      Salam

      Hapus